Iftitah
Adalah suatu
kenyataan sejarah bahwa umat Islam terpecah belah dalam kelompok-kelompok dan
golongan-golongan. Masing-masing mempunyai
nama serta sikap dan tingkah laku sendiri. Kita kenal nama Syi’ah,
Khawarij, dan Mu’tazilah kemudian kita kenal nama Ahlu Al-Sunnah wa Al-Jama’ah.
Sebagaimana aliran lain yang lahir pada
abad pertengahan, Ahlu al-Sunnah wa
al-Jama’ah (Aswaja) merupakan aliran yang holistik (menyeluruh). Aswaja
mencakup pandangan tentang realitas (ontologi), pandangan tentang pengetahuan
dan pandangan tentang tata nilai (aksiologi), kemudian masih dilengkapi lagi
pandangan mengenai masa depan yang dijanjikan (eskatologi). Pandangan holistik,
berasumsi bahwa sebuah aliran mampu menjawab dan mengatur segala aktivitas
manusia di segala bidang, pandangan itu memang merupakan ciri khas dari
pemikiran skolastik. Sementara pandangan holistik tentang Aswaja itu oleh
kalangan NU dirumuskan, sebagai landasan berpikir, bersikap dan bertindak.
Sedangkan, kalangan Islam revivalis merumuskan Aswaja sebagai teori dan praktek
yang menyangkut dimensi lahir dan batin. Pandangan yang serba meliputi itu
dirinci dalam berbagai disiplin keilmuan dan agenda kegiatan sosial. Oleh
karena itu, dalam pengertian kontemporer Aswaja tidak hanya meliputi doktrin
teologi (akidah), tetapi telah dikembangkan sebagai ideologi pembaruan sosial.
Ta’rif
Ahlu Al-Sunnah wa Al-Jama’ah
1.
Ditinjau dari ilmu bahasa (etimologi) Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah berasal
dari kata-kata:
· Ahlu,
yang berarti kaum, keluarga atau golongan
· Assunah,
yang berarti ucapan Nabi Muhammad SAW, tingkah laku, kebiasaan atau perbuatan
Nabi Muhammad SAW, dan persetujuan atau sikap Nabi Muhammad SAW.
· Wa,
kata sambung yang berarti “dan”
· Al-Jama’ah,
yang berarti kumpulan atau kelompok. Dan yang dimaksud kelompok disini adalah
kelompok sahabat Nabi. Sedangkan, yang dimaksud dengan sahabat Nabi adalah
mereka yang beriman kepada Nabi dan hidup sezaman atau pernah berjumpa dengan
Nabi SAW.
2.
Ditinjau dari segi istilah (terminologi)
Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah
berasal dari hadits-hadits Nabi antara lain yang telah disebut di atas.
Bisa kita simpulkan
bahwa Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah ajaran yang dibawa dan dikembangkan dan diamalkan
oleh Nabi Muhammad SAW., ajaran tersebut dihayati, diikuti dan diamalkan oleh para sahabat, atau
golongan yang paling setia kepada Nabi Besar Muhammad SAW.
Sejarah
Timbulnya Teologi Islam (Kalam)
Munculnya teologi Islam adalah dimulai pada masa
kekuasaan dua khalifah terakhir, yakni Utsman dan Ali. Usman termasuk dalam
golongan pedagang Quraisy yang kaya. Kaum keluarganya terdiri dari orang
aristocrat yang karena pengalaman dagang mereka, mempunyai pengetahuan tentang
administrasi. Pengetahuan mereka ini bermanfaat dalam memimpin administrasi
daerah-daerah di luar semenanjung Arabia yang bertambah banyak masuk ke bawah
kekuasaan Islam. Digambarkan bahwa utsman sebagai orang yang lemah dan tidak
sanggup menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Ia
mengangkat mereka menjadi gubernur di daerah yang tunduk kepada kekuasaan
Islam. Gubernur-gubernur yang diangkat oleh Umar Ibn al-Khattab, khalifah yang
terkenal sebagai orang kuat dan tidak memikirkan kepentingan keluarganya, dijatuhkan
oleh Utsman.
Tindakan politik yang dilakukan Utsman menimbulkan rekasi yang cukup keras
dari para sahabatnya, terlebih lagi mereka yang dulu mendukungnya mulai
meninggalkannya. Perkembangan suasana di Madinah selajutnya membawa pada
pembunuhan Utsman oleh pemuka-pemuka pemberontakan dari Mesir ini.
Setelah Utsman wafat, calon terkuat sebagai khalifah
yang keempat adalah Ali. Akan tetapi ia mendapat beberapa tantangan dari
orang-orang disekitarnya. Pertama datangnya dari pemuka-pemuka yang ingin menjadi
khalifah, terutama Thalhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari
Aisyah. Akan tetapi tantangan dari Aisyah dapat dikalahkan oleh Ali dalam
pertempuran yang terjadi di Irak tahun 656 M.
Tantangan yang kedua datang dari Muawiyah, gubernur
Damaskus, sebagaimana halnya dengan Thalhah, ia tidak mengakui Ali sebagai
khalifah. Ia menuntut kepada Ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh Utsman,
bahkan ia menuduh Ali turut campur dalam pembunuhan tersebut, dan terjadilah
perang Siffin.
Perang besar antara kaum muslimin yang kedua tidak
terelakkan lagi. Tragedi ini dapat dikatakan merupakan malapetaka yang sangat
disesalkan dalam sejarah umat Islam. Sesudah beberapa lama pertempuran
berlangsung, pasukan Muawiyah terdesak dan hampir kalah. Atas saran Amr bin As,
mantan gubernur Mesir yang kemudian berpihak kepada Muawiyah, kemudian mereka
mengangkat Al-Qur'an di ujung tombak, sebagai pertanda perdamaian. Dengan cara
itu mereka mengajak pasukan Ali untuk menyelesaikan persengketaan berdasarkan
kitabullah. Pada awalnya, Ali bin Abi Thalib bermaksud untuk melanjutkan perang
yang hampir dimenangkan. Namun atas desakan sebagian tentaranya, ia terpaksa
menerima gencatan senjata yang ditawarkan musuh.
Untuk menyelesaikan persengketaan antara Ali bin Abi
Thalib dan Muawiyah, tahkim atau arbitrase segera diadakan. Sebagai wakil dalam
perundingan yang akan dilaksanakan, Muawiyah menunjuk Amr bin As yang dikenal
sangat pandai berdiplomasi. Adapun para pengikut Ali menunjuk Abu Musa
Al-Asy'ari, seorang tokoh senior dari kaum Muhajirin yang juga dikenal dengan
kejujuran, kesalehan, wara' (mengutamakan agama dan akhirat daripada kehidupan
duniawi). Pilihan ini sebenarnya tidak disetujui Ali, sebab ia mengetahui bahwa
tokoh tua ini bukan tandingan Amr bin As dalam perundingan. Namun, karena
desakan yang kuat dari para pengikutnya, ia dengan sangat terpaksa menerima
penunjukkan itu. Dalam pertemuan mereka, kelicikan Amr mengalahkan perasaan
takwa Abu Musa. Sejarah mengatakan keduanya terdapat pemufakatan untuk menjatuhkan
kedua pemuka yang bertentangan, Ali dan Muawiyah. Tradisi menyebut bahwa Abu
Musa Al-Asy'ari, sebagai yang tertua, terlebih dahulu berdiri mengumumkan
kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu.
Berlainan dengan apa yang disetujui, Amr bin As mengumumkan hanya menyetujui
penjatuhan Ali yang telah diumumkan Al-Asy'ari, tetapi menolak penjatuhan
Muawiyah, ia menetapkan Muawiyah sebagai khalifah.
Keputusan ini sangat mengejutkan mereka yang berada di
pihak Ali. Tak satupun dari kelompok ini yang dapat menerima ketetapan tahkim.
Bagaimana tidak, yang legal menjadi khalifah adalah Ali bin Abi Thalib,
sedangkan Muawiyah kedudukannya tidak lebih dari gubernur daerah yang tidak mau
tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitrase ini kedudukannya
telah naik menjadi khalifah yang tidak resmi. Tidak mengherankan kalau putusan
ini ditolak Ali dan tak mau meletakkan jabatannya, sampai ia mati terbunuh di
tahun 661 M.
Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin As untuk
mengadakan arbitrase, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh
sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa hal serupa tidak dapat diputuskan
oleh arbitrase manusia. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada
hukum-hukum yang ada dalam Alqur’an.
Mereka memandang Ali telah berbuat salah dan oleh
karena itu mereka meninggalkan barisannya. Golongan mereka inilah dalam sejarah
Islam terkenal dengan nama Al-Khawarij, yaitu orang-orang yang keluar dan
memisahkan diri (seceders).
Karena memandang Ali bersalah dan berbuat dosa, mereka
melawan Ali. Ali sekarang menghadapi dua musuh, yaitu Muawiyah dari satu pihak
dan Khawarij dari pihak lain. Karena selalu mendapat serangan dari pihak kedua
ini, Ali terlebih dahulu memusatkan usahanya untuk menghancurkan kaum Khawarij,
tetapi setelah mereka kalah, tentara Ali terlalu capai untuk meneruskan
pertempuran dengan Muawiyah. Muawiyah tetap berkuasa di Damaskus dan setelah
Ali bin Abi Thalib wafat ia dengan mudah dapat memperoleh pengakuan sebagai khalifah
umat Islam pada tahun 661 M.
Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan
politik sebagaimana digambarkan di atas iniliah yang akhirnya membawa kepada
timbulnya persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti
siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Dari
mata rantai awal inilah kemudian terus menerus bermunculan aliran-aliran kalam
dalam tarikh Islam yang memang tidak bisa lepas dari dimensi politik, mulai
dari paham Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyyah, dan Murji’ah
sampai Asy’ariyah dan Maturidiyah yang kemudian hari diidentikkan dengan dengan
paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah.
1) Syi’ah
Golongan yang beri’tiqad bahwa sahabat Ali adalah
orang yang berhak menjadi khalifah pengganti Nabi, karena menurut mereka Nabi
telah berwasiat bahwa pengganti beliau sesudah wafat adalah sahabat Ali.
2) Khawarij
Golongan ini semula pengikut sahabat
Ali, kemudian setelah Ali menerima tahkim mereka memisahkan diri dan golongan
ini terlalu kaku dan radikal dan bias dikatakan Radikal Anarkis.
Ajarannya adalah Khalifah Ali tidak
sah sesudah tahkim, dan beliau menjadi kafir karena menerima tahkim, Aisyah
terkutuk sebab melakukan “peperangan Jamal” melawan Ali, semua orang yang
membantah I’tiqad kaum khawarij adalah kafir, halal darahnya, hartanya dan anak
istrinya.
3) Mu’tazilah
Golongan ini adalah golongan umat
Islam yang terlalu banyak mendapat
pengaruh filsafat Yunani yang telah diterima oleh sarjana-sarjana muslim.
Ajarannya adalah baik dan buruk itu
telah ditentukan oleh akal pikiran, sedangkan Al-Qur’an hanya berfungsi sebagai
penguat dari apa yang telah ditentukan oleh akal pikiran tersebut, serta
Al-Qur’an adalah makhluk dan lain sebagainya.
4) Qadariyah
Golongan ini beri’tiqad bahwa
pekerjaan manusia itu tidak ada sangkut pautnya dengan Allah.
5) Jabariyyah
Golongan ini berpendapat bahwa
manusia itu sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk berikhtiar. Perbuatan
baik atau buruk yang dilakukan manusia, masuk surga atau neraka adalah
semata-mata dipaksa oleh Qudrat Ilahi.
Ajaran mereka tidak ada ikhtiar atau
usaha manusia, semuanya dari Tuhan, Iman itu cukup dihati saja.
6) Murji’ah
Golongan ini terdiri dari sekumpulan
umat Islam yang ingin menjauhkan diri dari pertikaian yang terjadi di antara
para sahabat Nabi. Mereka tidak mau menyalahkan orang lain seperti Aisyah dan
Ali, dan tidak mengkafirkan orang lain.
Ajarannya, Rukun Iman itu hanya
mengenal Tuhan dan Rasul-Nya saja, berbuat dosa itu tidak apa-apa kalau sudah
mengenal Tuhan dan Rasul-Nya.
7) Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah (Aswaja)
Pendirinya adalah Abu Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari
dan Abu Manshur Al-Maturidi. Al-Asy’ari lahir di Basrah di tahun 873 M dan wafat di Bagdad pada
tahun 935 M. Pada mulanya ia adalah murid Al-Jubba’i dan salah seoranag
terkemuka dalam golongan Mu’tazilah sehingga menurut Al-Husain bin Muhammad
Al-Askari, Al-Jubba’I berani mempercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya.
Tetapi oleh sebab-sebab yang tidak jelas, Al-Asy’ari sungguhpun telah puluhan
tahun menganut paham Mu’tazilah akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Sebab
yang biasa disebut, yang berasal dari Al-Subki dan Ibnu Asakir ialah bahwa pada
suatu malam Al-Asy’ari bermimpi, dalam mimpi itu Nabi Muhammad SAW mengatakan
kepadanya bahwa Madzhab Ahli Haditslah yang benar, dan Madzhab Mu’tazilah
salah. Sebab lain bahwa Asy’ari berdebat dengan gurunya Al-Jubba’i dan dalam
perdebatan itu guru tidak dapat menjawab tantangan murid. Maka dari itulah
Al-Asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah dan menyusun teologi baru yang
sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada hadits.
Nahdlatul
Ulama dan Ahlu Al-Sunnah wa Al-Jama’ah
Doktrin Paham Nahdlatul Ulama (NU),
mengakar pada tradisi pemikiran Islam klasik yang berkembang pada masa tabi'uttabiin
(Ulama generasi ke-2 setelah generasi sahabat Nabi Muhammad SAW). Doktrin
atau faham tersebut adalah Ahlu al-Sunnah Wa al-Jama’ah, sebuah pola
pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstem aqli (rasionalis) dengan
kaum ekstem naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU
tidak hanya Al-Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah
dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir
terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang
teologi, kemudian dalam bidang fiqih mengikuti empat madzhab yakni Hanafi,
Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan
metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf
dengan syariat.
Jika kita menelisik secara tekstual alur
pemikiran NU, maka mode teologi Asya'riayah yang selalu ingin menjembatani
berbagai kontroversi dan mencari jalan tengah adalah cara yang selalu dipakai
oleh NU untuk ijtihad politik dan sosial. Pandangan ulama NU dibangun dari
sebuah kesederhanaan cara berfikir, yaitu agama dimanifestasikan dalam bentuk
akhlakul karimah dan menjadi daya rangsang bagi tercapainya kemaslahatan bangsa
dan negara.
Aswaja Sebagai Manhajul
Fikr
Dengan sikap
dan pemahaman yang di dasarkan atas prinsip Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah, baik dalam bidang teologi, fiqih dan tasawuf, serta pengalaman empirik bangsa Indonesia
ini, maka aswaja sebagai manhajul fikr (metode berfikir) harus bisa menjadi
alat yang bisa menjawab berbagai macam realitas sebagai upaya
mengkontekstualkan ajaran Islam sehingga benar-benar dapat
membawa Islam
sebagai Rahmatan Lil Alamin, dengan memegang tiga prinsip dasar Aswaja yaitu :
1)
Tawassuth, yaitu sikap moderat
yang berpijak pada prinsip keadilan serta berusaha menghindari segala bentuk
sikap tatharuf (ekstrim),
baik dalam bidang agama maupun politik, karena sikap tersebut mengarah pada kekerasan
dan disintegrasi.
2)
Tasamuh,
yaitu sikap toleran yang berintikan
penghargaan terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya
masyarakat. Karena hanya dengan sikap tasamuh itu rasa saling percaya dan
solidaritas bisa ditegakkan, dan ini merpakan inti hidup berbangsa.
3)
Tawazun,
yaitu sikap yang selalu berusaha menciptakan keseimbangan hubungan antara sesama umat manusia dengan Allah SWT.,
antara akal dan wahyu, serta antara individu dan kolektivitas. Dengan sikap
tawazun ini harmoni dalam kehidupan baik pikiran maupun tindakan bisa
terwujud.
Didalam
PMII Aswaja
dijadikan Manhajul Fikri artinya Aswaja bukan dijadikan tujuan dalam
beragama melainkan dijadikan metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran
agama. Walaupun banyak tokoh yang telah mencoba mendekontruksi isi atau konsep
yang ada dalam Aswaja tapi sampai sekarang Aswaja dalam sebuah metode berfikir
ada banyak relevansinya dalam kehidupan beragama, sehingga PMII lebih terbuka
dalam membuka ruang dialektika dengan siapapun dan kelompok apapun.
Dengan prinsip moderat (Tawassuth), bisa dijadikan sebuah senjata atau alat
untuk selalu berdialektika dan berdiaolog dengan kondisi zaman apapun.
Sikap ini sangat relevan ketika dihadapkan dengan sekian perubahan zaman. PMII
tidak lantas gagap atau bahkan apatis menghadapi desakan arus modernisasi yang
melahirkan dilema. PMII tidak secara vis a vis menyikapi gelombang tersebut,
karena bagaimanapun juga peradaban modern merupakan sebuah keniscayaan yang
hadir didunia dengan sekian implikasi yang dilahirkannya, maka sikap menolak
dan melarikan diri kearah dogma agama tanpa adanya pemaknaan kritis, bukanlah
sebuah hal yang bersifat solutif. Atas asumsi itulah sikap mengambil jalan
tengah, mungkin bisa dijadikan upaya alternatif untuk meletakkan diri kita
secara proporsional ditengah peradaban ini. Karena modernisasi bukanlah
merombak secara total dengan menafikan tradisi lama, tetapi bagiamana tradisi
serta tatanan masyarakat yang lama tersebut bisa diaktualisasikan dengan
melakukan reinteprestasi ajaran sesuai dengan kontek kekinian.
Aktualisasi dari prinsip yang
pertama adalah bahwa selain wahyu, kita
juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun tidak terjebak pada
mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada
apakah dan bagaimana dia menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya, ada
sebuah keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam antara wahyu dan akal
sehingga kita tidak terjebak pada paham skripturalisme (tekstual) dan
rasionalisme.
Selanjutnya, dalam konteks hubungan
sosial, seorang kader PMII harus bisa menghargai
dan mentoleransi perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan sekalipun.
Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita
pada orang lain, yang diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan
mendialiektikakan keyakinan atau pendapat tersebut, dan ending-nya diserahkan
pada otoritas individu dan hidayah dari Tuhan. Ini adalah manifestasi dari
prinsip tasamuh dari Aswaja sebagai manhajul fikri.
Dan yang terakhir adalah tawazzun (seimbang). Penjabaran
dari prinsip tawazzun meliputi berbagai aspek kehidupan, baik itu perilaku
individu yang bersifat sosial maupun dalam konteks politik sekalipun. Ini
penting karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam berinteraksi
di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan yang tidak
seharusnya. walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan mungkin
tidak ada orang yang tidak memiliki keberpihakan sama sekali, minimal
keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana
dapat dikatakan bahwa memandang dan
memposisikan segala sesuatu pada proporsinya masing-masing adalah sikap yang
paling bijak, dan bukan tidak mengambil sikap karena itu adalah manifestasi
dari sikap pengecut dan oportunis.