Label

Rabu, 10 Oktober 2012

Saatnya Tinggalkan Pola Usang demi Kemajuan

Hidup tidak dapat dilepaskan dari pendidikan. Sebab, manusia diciptakan bukan hanya untuk hidup.Adatujuan yang lebih mulia dari sekadar hidup yang harus diwujudkan. Hal itu memerlukan ilmu yang diperoleh dari pendidikan. Bila hidup sangat berkaitan dengan pendidikan, faktor penting -bahkan penentu hitam putihnya pendidikan– adalah guru (Izzudin Karimi: 2005). Benar! Guru bukanlah satu-satunya instrumen pendidikan. Masih ada buku, kurikulum, peletak kurikulum, pembuat kebijakan pendidikan, dan seterusnya. Namun, di antara sederet instrumen itu, guru adalah ujung tombak. Ibarat satu kesebelasan sepak bola, striker memegang peran sentral untuk mencapai tujuan, yaitu mencetak gol. Jika striker mandul, hal itu akan memengaruhi performa dan hasil akhir pertandingan. Bila guru ”mandul”, hasil pendidikan akan rendah. Maka, tak salah jika muncul ungkapan ”Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.” Tak ayal, perhatian guru dalam dunia pendidikan adalah prioritas. Pahlawan tanpa tanda jasa itu memikul tugas dan tanggung jawab yang tidak ringan. ***** Krisis multidimensi di negeri ini, mau tak mau, membuka mata kita terhadap mutu pendidikan Indonesia. Demikian pula halnya dengan sumber daya manusia hasil pendidikan di nusantara ini. Memang, penyebab krisis tersebut begitu kompleks. Namun, tak dimungkiri bahwa penyebab utamanya adalah sumber daya manusia itu sendiri yang kurang bermutu. Jangankan bicara profesionalisme, terkadang sikap manusia Indonesia yang paling merisaukan adalah seringnya bertindak tanpa moralitas. Maka, di sinilah pentingnya peran seorang guru dalam membentuk sumber daya manusia yang berwawasan dan berkualitas. Seperti perkembangan zaman dan majunya teknologi, guru pun dituntut untuk selalu meng-update inovasi dan kreativitasnya. Tidak mungkin guru sekarang hanya mengandalkan pengalaman serta kemampuan mengajar saja. Harus diakui, perkembangan pendidikan di Amerika, Jepang, dan negara-negara lain di Asia dan Eropa hampir merata. Sebab, anggaran yang dialokasikan ke pendidikan besar dan berjalan lancar. Sebesar 65 persen penduduk Indonesia berpendidikan SD, bahkan tidak tamat. Selain itu, kualitas pendidikan di negara ini pun dinilai masih rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Tak heran jika Indonesia hanya menempati urutan ke-102 di antara 107 negara di dunia dan urutan ke-41 di antara 47 negara di Asia. Di antara satu juta penduduk di Amerika, 6.500 orang bergelar S-3 (doktor), Israel 16.500, Prancis 5.000, Jerman 4.000, dan India 1.300 orang. Semua itu hasil dari pendidikan yang bermutu. Negara Asia lainnya seperti Korea Selatan juga memberikan prioritas untuk kemajuan pendidikan. Pengadaan sandang, pangan, dan papan perlu, tapi pembangunan pendidikan jangan sampai dianaktirikan. Kemajuan sebuah negara sangat ditentukan tingkat pendidikan sumber daya manusianya. Contoh lainnya, pada 1970-an Malaysia masih mengimpor tenaga pengajar dari Indonesia. Kini, pendidikan di Malaysia jauh di atas Indonesia. Mengapa? Sebab, pemerintahnya memberikan perhatian yang sangat serius. Tidak seperti di Indonesia, pendidikan belum begitu disentuh secara menyeluruh, apalagi membentuk wadah menjembatani aspirasi dan suara guru. Harus diakui bahwa lulusan dari lembaga pendidikan di Indonesia kurang relevan dengan kebutuhan tenaga yang diperlukan sehingga hasilnya kurang efektif dan mendorong terjadinya pengangguran intelektual. Masalah tersebut masih ditambah dengan minimnya fasilitas pendidikan yang memadai dan tenaga pengajar yang berkualitas pula. Karena itu, harus ada perubahan! Satria Dharma, tokoh dan pengamat pendidikan dari Balikpapan, Kalimantan Timur, menegaskan bahwa guru memegang peran yang amat penting sebagai pemimpin perubahan. Gurulah yang mampu menggerakkan bangsa ini untuk maju, dalam hal ini mendidik dan melahirkan generasi berkualitas dan berprestasi. Dari situlah, tercetus ide dari Satria tentang pembentukan Indonesian Teachers Club atau cikal bakal Klub Guru Indonesia, yang mampu menampung aspirasi dan inovasi para guru dengan satu kata: sinergi! Buku ini ibarat sebuah museum pendidikan yang amat berharga. Pandangan-pandangan dan kritik membangun terhadap wajah pendidikan di negeri ini, terutama menyoal keguruan di Indonesia, terlalu sayang bila hanya dilihat sekilas saja. Ulasan ringan, segar, dan bisa seiring dengan perkembangan zaman. Itulah yang saya cerna dari tulisan-tulisan Satria Dharma, Indra Djati Sidi, dan Ahmad Rizali dalam buku ini. **** Dalam salah satu ulasan, Ahmad Rizali mencoba mengungkapkan realita bahwa guru kebanyakan adalah guru yang selalu ingin muridnya langsung benar. Proses belajar adalah proses berbuat kesalahan dan memperbaiki, salah kembali dan diperbaiki kembali. Jika tak pernah melakukan kesalahan, kapan sang murid mengetahui dan menghayati kebenaran? Rizali menambahkan, guru saat ini adalah mereka yang mendorong muridnya menjalankan keinginan dan impian gurunya, impian kepala sekolah , bahkan impian wali kota. Sehingga, murid dipaksa untuk “mengisi” cetakan yang dibuat gurunya, bukan mengajak dan membimbing muridnya membuat cetakan yang diinginkan oleh murid (hal 73). Dasar agenda pendidikan ke depan masih panjang. Meliputi pembahasan kurikulum, pembaruan dalam proses pembelajaran, pembenahan manajemen pendidikan nasional, pembenahan pengelolaan guru, dan mencari serta mengembangkan berbagai sumber alternatif pembiayaan pendidikan. Pesan sederhana yang disampaikan Satria Dharma, Ahmad Rizali, dan Indra Djati Sidi dalam buku ini adalah ajakan kepada seluruh komponen pendidikan, khususnya guru, untuk mau mengembangkan diri dan meninggalkan pola usang demi kemajuan pendidikan itu sendiri. Yakni, dari konvesional menuju profesional. Buku ini tidak melulu mengupas tentang guru. Beberapa masalah pendidikan pun diungkapkan dengan bahasa otokritik yang halus. Mulai masalah sekolah menengah kejuruan, ujian akhir nasional (unas), membaca, hingga sekolah bertaraf internasional. Semuanya disajikan dalam paparan yang ringan dan baik. Tentu saja, tujuannya untuk membangun dan membangkitkan semangat para pendidik di negeri ini. Buku ini sangat pantas dan perlu dibaca oleh semua kalangan, terutama bagi mereka yang peduli terhadap pendidikan. BARUDAK BARACA TAH BUKU : "Dari Guru Konvensional Menuju Guru Profesional" Saatnya Tinggalkan Pola Usang demi Kemajuan

Minggu, 05 Agustus 2012

ANALISIS KORELASIONAL

Analisa Korelasional adalah analisa yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel atau lebih. Analisa korelasional/hubungan/assosiasi dapat dikatakan merupakan pengembangan dari analisa deskriptif (untuk selanjutnya baca : deskriptif-kuantitatif), kalau dalam penelitia deskriptif kita mengumpulkan data sebanyak-banyaknya, menyusunya dengan sistematis, kita analisa dengan cermat dan yang dideskripsikan dalam analisis penelitian adalah variabel-variabel penelitian, situasi dan kondisi yang melingkupinya. Penelitian korelasional bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antar gejala (variabel), hubungan tersebut positif atau negatif dan seberapa erat hubungan antar gejala tersebut. Misalnya pengusaha ingin mengetahui hubungan antara muatan informasi (kecukupan/kekurangan informasi) dan kebutuhan akan informasi, Divisi Humas ingin mengetahui hubungan antara kualitas media (daya tarik untuk dibaca, sesuai dengan kebutuhan, terpercaya, mudah dipahami, lengkap dan jelas dsb) dan motif pengunaan media, dosen ingin mengetahui hubungan antara pemberian tugas dengan prestasi mahasiswa dsb. Terdapat beberapa perbedaan yang membedakan Analisa Korelasional dan Analisa Deskriptif yaitu bahwa dalam analisa deskriptif tidak membahas tentang hubungan antar variabel, sedangkan kalau kita lihat dari jenis datanya sama, yang membedakan adalah sifat-sifat analisanya, analisa deskripsi mendeskripsikan variabel dan karakteristik responden, sedangkan analisa korelasional meneliti bagaimana untuk memperoleh kejelasan ada tidaknya hubungan antar variabel dan karakteristik responden seperti apa dalam konteks penelitian tersebut. Statistik deskripsi tidak berupaya adanya generalisasi data sampel terhadap populasi, sedangkan analisis korelasional selain mendesripsikan data sampel, peneli ingin memperoleh kesimpulan apakah korelasi (yang sebenarnya data sampel) tersebut juga berlaku pada populasi (dengan uji signifikansi). Perbedaan tersebut dapat terlihat dari analisa deskriptif kita mengumpulkan data sebanyak-banyaknya, menyusunya dengan sistematis, kita analisa dengan cermat dan yang dideskripsikan dalam analisis penelitian adalah variabel-variabel penelitian, situasi dan kondisi yang melingkupinya. Analisa korelasional bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antar gejala (variabel), hubungan tersebut positif atau negatif dan seberapa erat hubungan antar gejala tersebut. Misalnya pengusaha ingin mengetahui hubungan antara muatan informasi (kecukupan/kekurangan informasi) dan kebutuhan akan informasi, Divisi Humas ingin mengetahui hubungan antara kualitas media (daya tarik untuk dibaca, sesuai dengan kebutuhan, terpercaya, mudah dipahami, lengkap dan jelas dsb) dan motif pengunaan media, dosen ingin mengetahui hubungan antara pemberian tugas dengan prestasi mahasiswa dsb. Statistik deskripsi tidak berupaya adanya generalisasi data sampel terhadap populasi, sedangkan analisis korelasional selain mendesripsikan data sampel, peneli ingin memperoleh kesimpulan apakah korelasi (yang sebenarnya data sampel) tersebut juga berlaku pada populasi (dengan uji signifikansi). Penelitian korelasi (secara statistik) menunjukkan adanya ko-variasi (sebaran data yang sama) antar variabel, apakah variasi-variasi pada satu faktor berkaitan dengan variasi pada faktor yang lain, yang mana hubungan tersebut kemungkinan merupakan : 1. “ko-variasi antar variabel dari penyebab (dependen) yang sama” 2. “ko-variasi antar variabel akibat (independent)” , atau 3. atau mungkin korelasi tersebut sifatnya “hanya kebetulan saja”. Untuk memperoleh informasi yang akurat tentang dugaan hubungan antar variabel tersebut dapat perpedoman pada teori (konsep dan proposisi), model, atau melakukan penelitian secara intensif dan mendalam. Penelitian asosiasi atau korelasi sering dikaburkan dengan penelitian/analisis causal (sebab-akibat), korelasi yang kuat dianggap adanya hubungan sebab-akibat. Hubungan kausal dapat diinterpretasikan pasti “ada hubungan” yang sifatnya kausalitas, tetapi kalau “ada hubungan” belum tentu adanya kausalitas. Kita sering terjebak dengan proses berfikir yang nampaknya logis atau cara berfikir linier, hal inilah yang perlu dicermati, khususnya dalam perumusan masalah. Jika ada kesalahan dalam membuat perumusan masalah, alih-alih pertanyaan yang salah tentang obyek yang kita teliti tidak akan menghasilkan jawaban yang benar. Sebagai Contoh, pernyataan : 1. Pengaruh “kemampuan membaca” terhadap “lamanya belajar Mahasiswa” 2. Hubungan antara “kemampuan membaca”dengan “lamanya belajar Mahasiswa” 3. Pengaruh “kemampuan membaca” dan “lamanya belajar Mahasiswa” terhadap “Tingkat Pengetahuan Mahasiswa tentang Metode Penelitian Komunikasi”. Adanya hubungan antara “kemampuan membaca” dan “lamanya belajar” jangan diinterpretasikan bahwa “lamanya belajar” disebabkan oleh “kemampuan membaca”. Atau “Lamanya Belajar” diakibatkan oleh “ Kemampuan membaca”. Mahasiswa yang “lama belajar” belum tentu atau bukan karena “kemampuan membacanya yang kurang”, tetapi (diduga) karena akan mengikuti UTS, karena ingin bisa, lagi tertarik dsb. Bandingkan dengan; Pengaruh “kemampuan membaca” dan “ lamanya belajar” terhadap “Tingkat Pengetahuan Mahasiswa tentang Metode Penelitian Komunikasi”. Jika kita perhatikan dengan seksama, dari ketiga pernyataan tersebut yang secara logika mana yang lebih dapat diterima dan benar. Dengan demikian tipe hubungan antar variabel dalam penelitian korelasional adalah hubungan simetri, adalah jenis hubungan antar variabel yang mana suatu variabel yang satu tidak disebabkan oleh variabel yang lain atau tidak dipengaruhi oleh variabel yang lain. Hal ini dapat terjadi apabila : 1. Kedua variabel tersebut merupakan dimensi/indikator untuk konsep yang sama, misalnya : Hubungan antara frekuensi penggunaan media, durasi (lama), pilihan jenis media dan jenis isi sebagai indikator dari pola penggunaan media dsb. 2. Sebagai akibat dari faktor yang sama, Misalnya; Penguasaan materi, lulus mata kuliah, IP bagus sebagai akibat yang sama karena rajin membaca/belajar dsb. 3. Berkaitan secara fungsional, apabila keberadaan sesuatu hal diikuti oleh keberadaan yang lainnya atau sebaliknya. Misalnya : ada mahasiswa ada dosen, ada asap – ada api, ada pekerja – ada majikan, ada pimpinan – ada bawahan, dsb. 4. Hubungan yang sifatnya kebetulan saja. Misalnya; hubungan mimpi buruk dengan kehilangan HP, hubungan berkokok-nya ayam dengan terbitnya matahari, dsb. Analisis Data dalam Analisa Korelasional Dalam melakukan analisis data yang perlu diperhatikan adalah : 1. Masalah dan Tujuan penelitian; 2. Hubungan antar variabel (hipotesis penelitian) yang dalam analisa statistik sebagai hipotesis statistik (Ho dan H1); 3. Jenis informasi dan jenis data; apakah data yang kita peroleh sebagai data nominal, ordinal, interval atau rasio; 4. Kesesuaian antara jenis data dengan jenis analisa statistik yang digunakan; 5. Taraf signifikansi (α) atau tingkat kepercayaan (1- α); 6. Berbagai variasi analisis data berdasarkan kebutuhan dsb. Alat analisis korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan dua atau lebih variabel. Korelasi antar dua variabel disebut korelasi sederhana, dan korelasi lebih dari dua variabel disebut korelasi berganda (multiple Correlation). Sehingga alat anlisa ada rumus untuk menghitung korelasi sederhana dan berganda. Berbagai variasi alat analisa korelasi tergantung dari hubungan antar variabel dan jenis data, apakah nominal, ordinal atau interval dan tujuan penelitian kita.

ANALISIS KEBIJAKAN REDAKTUR

Kebijakan sendiri merujuk pada tiga hal yakni sudut pandang (point of view); rangkaian tindakan (series of actions) dan peraturan (regulations). Ketiga hal tersebut menjadi pedoman bagi para pengambil keputusan untuk menjalankan sebuah kebijakan. Dan seorang Redaktur merupakan suatu pimpinan sekaligus penanggung jawab dalam suatu media. Oleh karenanya Analisa Kebijakan Redaktur merupakan suatu proses analisa mengenai kebijakan redaktur dalam proses penerbitan suatu media. Proses Analisa Kebijakan Dalam proses analisa kebijakan, terdapat dua pendekatan yaitu: 1. Analisis proses kebijakan (analysis of policy process), dimana dalam pendekatan ini, analisis dilakukan atas proses perumusan, penentuan agenda, pengambilan keputusan, adopsi, implementasi dan evaluasi dalam proses kebijakan. Jika dilihat dari item analisisnya, pendekatan ini lebih melihat kandungan (content) sebuah proses kebijakan. 2. Analisis dalam dan untuk proses kebijakan (analysis in and for policy process), dimana dalam pendekatan ini, analisis dilakukan atas teknik analisis, riset, advokasi dalam sebuah proses kebijakan. Nampaknya, pendekatan ini cenderung melihat prosedur proses kebijakan. Hasil analisis kebijakan adalah informasi yang relevan bagi pihak-pihak yang akan melaksanakan kebijakan. Analisis bisa dilakukan pada semua tahap proses kebijakan Analisis pada tahap selanjutnya mencakup interpretasi dan sosialisasi kebijakan, merencanakan serta menyusun kegiatan implementasi kebijakan. Hasil analisis pada tahap ini adalah aksi kebijakan (policy action). 3. Analisis berikutnya adalah evaluasi implementasi kebijakan dengan memperhatikan tingkat kinerja dan dampak sebuah implementasi kebijakan. Hasil analisisnya berupa informasi kinerja yang akan menjadi dasar tindakan apakah kebijakan tersebut akan diteruskan atau sebaliknya. Tipe Analisis Kebijakan Tipe analisis kebijakan dikategorikan menjadi dua tipe yaitu: 1. Tipe analisis akademis. Tipe analisis ini berfokus pada hubungan antara faktor determinan utama dengan isi kebijakan dan berusaha untuk menjelaskan hakikat, karakteristik dan profil kebijakan dan bersifat komparatif baik dari segi waktu maupun segi subtansi. 2. Tipe analisis terapan. Tipe analisis ini lebih memfokuskan diri pada hubungan isi kebijakan dengan dampak kebijakan serta lebih berorientasi pada evaluasi kebijakan dan bertujuan untuk menemukan alternatif lebih baik dan bisa menggantikan kebijakan yang sedang dianalisis. Elemen dalam Kebijakan yang Menjadi target analisis Terdapat tiga elemen dalam kebijakan yang menjadi target analisis, yakni: 1. faktor determinan utama; 2. isi kebijakan; dan 3. dampak kebijakan baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.

ANALISIS FRAMING

Konsep Framing Analisis framing versi terbaru dari pendekatan wacana, khususnya untuk menganalisis teks media. Dan yang pertama kali melontarkan tentang framing adalah Beterson 1955 (Sudibyo 1999a : 23). Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana serta menyediakan kategori – kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Dalam ranah studi komunikasi, mewakili analisis tradisi yang mengedepankan pendekatan atau perspektif multidisipliner untuk menganalisis fenomena atau aktifitas komunikasi. Konsep framing adalah murni konsep ilmu komunikasi, akan tetapi di pinjam oleh ilmu kognitif (psikologi). Dalam praktiknya, analisis framing juga membuka peluang untuk implementasi konsep sosiologi, politik dan cultural untuk menganalisis fenomena komunikasi. Dalam perspektif komunikasi, framing digunakan untuk membedah cara atau ideology media saat mengkonstruksi fakta. Dengan kata lain framing di gunakan untuk mengetahui bagaimana cara pandang wartawan dalam menyeleksi isu dan menulis berita. Dalam konsep psikologis, framing dilihat sebagai penempatan informasi dalam konteks yang unik. Dalam konsep ilmu lain konsep framing terkesan tumpang tindih, fungsi frame kerap dikatakan sebagai struktur internal dalam pikiran dan perangkat yang dibangun dalam wacana politik. Teknik Framing Secara teknis sangat tidak mungkin seorang jurnalis memframing seluruh bagian berita, atau dalam kata lain hanyalah berita yang terpenting yang akan menjadi objek framing jurnalis. Framing dalam berita dilakukan dengan empat cara:  Identifikasi Masalah  Identifikasi Penyebab Masalah  Evaluasi Moral  Saran Penaggulangan Masalah Menurut Abrar (2000:73) menyebutkan bahwa pada umumnya ada empat teknik memframing berita yang digunaka oleh wartawan 1)Cognitive Dissonance (ketidaksukaan sikap dan perilaku), 2)empati (membentuk “pribadi khayal”), 3)Packing (daya tarik yang melahirkan ketidakberdayaan), 4)Assosiasi (menggabungkan kondisi, kebijakan dan objekyang sedang actual dengan focus berita).Dan sekurangnya ada tiga bagian yang menjadi objek framing seorang wartawan, yaitu ; judul berita, focus berita dan up berita. Analisis framing bisa dilakukan dengan bermacam-macam focus dan tujuan. Pendekatan framing di bagi menjadi dua; a. Pendekatan Kultural Meliputi identifikasi dan kategorisasi terhadap penanggulangan, penempatan, asosiasi, dan penajaman kata, kalimat dan proposisi tertentu dalan suatu wacana. b. Pendekatan Individual Frame dalam level individu menimbulkan konsekuensi bahwa untuk tujuan tertentu, studi framing tidak bisa hanya dilakukan dengan analisis isi terhadap teks media. Menurut Sudibyp (1999a:42) analisis framing terhada skemata individu bisa dilakukan dengan polling atau wawancara komprehensif.   Model Framing Ada dua model framing yang sering dioergunakan: a. Pan dan Kosciki Melalui tulisan “a framing analysis: An approach to New Discourse” meng-opersionalisasikan empat dimensi structural teks berita sebagai perangkat teks framing: sintaksis, skrip, tematik dan retoris yang membentuk semacam tema yang mempertautkan elemen-elemen semantic berita dalan koherensi global. Model ini berasumsi bahwa setiap berita memiliki frame yang berfungsi sebagai pusat organisasi berita. Dalam pendekatan ini framing di bagi menjadi 4 struktur besar:  Struktur sintaksis Bisa diamati dari bagan berita  Struktur skrip Melihat bagaimana strategi bertutur atau bercerita yang digunakan wartawan dalam mengemas berita.  Struktur tematik Bagaimana seorang wartawan mengungkapkan suatu peristiwa dalam proposisi, kalimat atau hubungan antar kalimat yang membentuk teks secara keseluruhan.  Struktur retoris Bagaimana seorang waratawan menekankan arto tertentu atau dalam kata lain penggunaan kata, idiom, gambar dan grafik yang digunakan untuk memberi penekanan arti tertentu. b. Gamson dan Modigliani Didasarkan pada pendekatan konstruksionis yang melihat representasi media, berita dan artikel, terdiri atas Package Interaktif yang mengandung konstruksi makna tertentu. Dalam Package Interaktif terdapat dua struktur:  Core Frame Merupakan pusat organisasi elemen-elemen ide yang membantu komunikator menunjukkan substansi isu yang dibicarakan.  Condensing Symbol Memiliki dua struktur framing devices dan reasoning devices. Framing Devices mencakup methapore, exemplar, cathcpharses, deceptions dan visual image yang menekankan pada bagaimana “melihat” aspek suatu isu atau berita. Sedangkan Reasoning Devices menekankan aspek pembenaran terhadap cara “melihat” isu, yakni roots dan appeals

ANALISIS SEMIOTIK

Pengertian semiotika secara terminologis adalah ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Menurut Eco, semiotik sebagai “ilmu tanda” (sign) dan segala yang berhubungan dengannya cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Menurut Eco, ada sembilan belas bidang yang bisa dipertimbangkan sebagai bahan kajian untuk semiotik, yaitu semiotik binatang, semiotik tanda-tanda bauan, komunikasi rabaan, kode-kode cecapan, paralinguistik, semiotik medis, kinesik dan proksemik, kode-kode musik, bahasa yang diformalkan, bahasa tertulis, alfabet tak dikenal, kode rahasia, bahasa alam, komunikasi visual, sistem objek, dan sebagainya Semiotika di bidang komunikasi pun juga tidak terbatas, misalnya saja bisa mengambil objek penelitian, seperti pemberitaan di media massa, komunikasi periklanan, tanda-tanda nonverbal, film, komik kartun, dan sastra sampai kepada musik. Berkenaan dengan hal tersebut, analisis semiotik merupakan upaya untuk mempelajari linguistik-bahasa dan lebih luas dari hal tersebut adalah semua perilaku manusia yang membawa makna atau fungsi sebagai tanda. Bahasa merupakan bagian linguistik, dan linguistik merupakan bagian dari obyek yang dikaji dalam semiologi. Selain bahasa yang merupakan representasi terhadap obyek tertentu, pemikiran tertentu atau makna tertentu, obyek semiotika juga mempelajari pada masalah-masalah non linguistik. Salah seorang sarjana yang secara konservatif menjabarkan teori De de Saussure ialah RolandBarthes (1915 – 1980). Ia menerapkan model Ferdinand De Saussure dalam penelitiannya tentang karya -karya sastra dan gejala-gejala kebudayaan, seperti mode pakaian. Bagi Barthes komponen – komponen tanda penanda – petanda terdapat juga pada tanda -tanda bukan bahasa antara lainterdapat pada bentuk mite yakni keseluruhan si stem citra dan kepercayaan yang dibentukmasyarakat untuk memp-ertahankan dan menonjolkan identitasnya (de Saussure,1988). Selanjutnya Barthes (1957 dalam de Saussure) menggunakan teori signifiant - signifie yang dikembangkan menjadi teori tentang metabaha sa dan konotasi. Istilah signifiant menjadi ekspresi (E) dan signifie menjadi isi (C). Namun Barthes mengatakan bahwa antara E dan C harus ada relasi (R) ter-tentu, sehingga membentuk tanda ( sign, Sn). Konsep relasi ini membuat teori tentang tanda lebih mungkin berkembang karena relasi ditetapkan oleh pemakai tanda. Menurut Barthes, ekspresi dapat berkembang dan membentuk tanda baru, sehingga ada lebih dari satu dengan isi yang sama. Pengem-bangan ini disebut sebagai gejala meta -bahasa dan membentuk apa yang disebut kesinoniman (synonymy). Setiap tanda selalu memperoleh pemaknaan awal yang dikenal dengan dengan istilah denotasi dan oleh Barthes disebut sistem primer. Kemudian pengembangan -nya disebut sistem sekunder. Sistem sekunder ke arah ekspresi dise but metabahasa. Sistem sekunder ke arah isi disebut konotasi yaitu pengembangan isi sebuah ekspresi. Konsep konotasi ini tentunya didasari tidak hanya oleh paham kognisi, melainkan juga oleh paham pragmatik yakni pemakai tanda dan situasi pemahamannya. Macam-macam Semiotik Hingga saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yang kita kenal sekarang (Pateda, dalam Sobur, 2004). Jenis -jenis semiotik ini antara lain semiotik analitik, diskriptif, faunal zoosemiotic, kultural, naratif, natural, normatif, sosial, struktural. 1. Semiotik analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce mengatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, obyek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu pada obyek tertentu. 2. Semiotik deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. 3. Semiotik faunal zoosemiotic merupakan semiotik yang khusus memper hatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Semiotik kultural merupakan semiotik yang khusus menelaah system tanda yang ada dalam kebudayaan masyarakat. 4. Semiotik naratif adalah semiotik yang membahas sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan c erita lisan (folklore). 5. Semiotik natural atau semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Semiotik normative merupakan semiotik yang khusus membahas sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma. Semiotik sosial merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang kata maupun lambing rangkaian kata berupa kalimat. Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah system tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.

ANALISIS WACANA

Analisis wacana adalah analisis isi yang lebih bersifat kualitatif dan dapat menjadi salah satu alternatif untuk melengkapi dan menutupi kelemahan dari analisis isi kuantitatif yang selama ini banyak digunakan oleh para peneliti. Jika pada analisis kuantitatif, pertanyaan lebih ditekankan untuk menjawab “apa” (what) dari pesan atau teks komunikasi, pada analisis wacana lebih difokuskan untuk melihat pada “bagaimana” (how), yaitu bagaimana isi teks berita dan juga bagaimana pesan itu disampaikan. Analisis wacana merupakan suatu kajian yang digunakan secara ilmiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan. Penggunaan bahasa secara alamiah ini berarti penggunaan bahasa seperti dalam komunikasi sehari-hari. Stubbs menjelaskan bahwa analisis wacana menekankan kajian penggunaan bahasa dalam konteks sosial, khususnya dalam interaksi antar penutur. Senada dengan itu, cocok dalam hal ini menyatakan bahwa analisis wacana itu merupakan kajian yang membahas tentang wacana, sedangkan wacana itu adalah bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi. Menurut Stubbs (Arifin,2000:8). Analisis wacana dalam Sobur ( 2006:48) adalah studi tentang struktur pesan pada dalam komunikasi. Lebih tepatnya lagi, telaah mengenai aneka fungsi (prakmatik) bahasa. Kajian tentang pembahasaan realitas dalam sebuah pesan tidak hanya apa yang tampak dalam teks atau tuklisan, situasi dan kondisi (konteks) seperti apa bahasa tersebut diujarkan akan membedakan makna subyektif atau makna dalam perspektif mereka. Crigler (1996) dalam Sobur (2006 : 72) mengemukakan bahwa analisis wacana termasuk dalam pendekatan konstruktionis. Ada dua karakteristik penting dari pendekatan konstruksionis yaitu : 1. Pendekatan konstruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas politik. 2. Pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai suatu proses yang terus menerus dan dinamis. Dari sisi sumber (komunikator), pendekatan konstruksionis memeriksa pembentukan bagaimana pesan ditampilkan, dan dari sisi penerima ia memeriksa bagaimana konstruksi individu ketika menerima pesan. Kembali pada anilsa wacana yang sesungguhnya berusaha memahami bagaimana realitas dibingkai, direproduksi dan didistribusikan ke khalayak. Analisis ini bekerja menggali praktek-praktek bahasa di balik teks untuk menemukan posisi ideologis dari narasi dan menghubungkannya dengan struktur yang lebih luas. Dengan demikian analisis wacana merupakan salah satu model analisa kritis yang memperkaya pandangan khalayak bahwa ada keterkaitan antara produk media, ekonomi dan politik. Keterkaitan ini dapat dimunculkan pada saat analisis wacana bergerak menuju pertanyaan bagaimana bahasa bekerja dalam sebuah konteks dan mengapa bahasa digunakan dalam sebuah konteks dan bukan untuk konteks yang lain. Pada dasarnya ada beberapa perbedaan mendasar antara analisis wacana dengan analisis isi yang bersifat kuantitatif adalah sebagai berikut. Analisis wacana lebih bersifat kualitatif daripada yang umum dilakukan dalam analisis isi kuantitatif karena analisis wacana lebih menekankan pada pemaknaan teks daripada penjumlahan unit kategori, seperti dalam analisis isi. Analisis isi kuantitatif digunakan untuk membedah muatan teks komunikasi yang bersifat manifest (nyata), sedangkan analisis wacana justru memfokuskan pada pesan yang bersifat latent (tersembunyi). Analisis isi kuantitatif hanya dapat mempertimbangkan “apa yang dikatakan” (what), tetapi tidak dapat menyelidiki bagaimana ia dikatakan (how). Analisis wacana tidak berpretensi melakukan generalisasi, sedangkan analisis isi kuantitatif memang diarahkan untuk membuat generalisasi.

ANALISIS ISI

Analisis isi (Content Analysis) adalah teknik penelitian untuk membuat inferensi–inferensi yang dapat ditiru dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Analisis isi berhubungan dengan komunikasi atau isi komunikasi. Logika dasar dalam komunikasi, bahwa setiap komunikasi selalu berisi pesan dalam sinyal komunikasinya itu, baik berupa verbal maupun nonverbal. Sejauh ini, makna komunikasi menjadi amat dominan dalam setiap peristiwa komunikasi. Sebenarnya analisis isi komunikasi sangat tua umurnya, setua umur manusia. Namun, panggunaan teknik ini diintoduksikan di bawah nama analisis isi dalam metode penelitian tidak setua umur penggunaan istilah tersebut. Tuanya umur penggunaan analisis isi dalam praktik kehidupan manusia terjadi karena sejak ada manusia di dunia, manusia saling menganalisis makna komunikasi yang dilakukan antara satu dengan lainnya. Gagasan untuk menjadikan analisis isi sebagai teknik penelitian justru muncul dari orang seperti Bernard Berelson (1959). Ia telah menaruh banyak perhatian pada analisis isi. Berelson mendefinisikan analisis isi dengan: content anlysis is a research technique for the objective, systematic, and quantitative description of the manifest content of communication. Tekanan Berelson adalah menjadikan analisis isi sebagai teknik penelitian yang objektif, sistematis dan deskripsi kuantitatif dari apa yang tampak dalam komunikasi. Kendatipun banyak kritik yang dapat kita sampaikan pada definisi Berlson sehubungan perkembangan analisis isi sampai hari ini, namun catatan mengenai objektif dan sistematik dalam menganalisis isi komunikasi yang tampak dalam komunikasi, menjadi sangat penting untuk dibicarakan saat ini. Analisis isi dapat di pergunakan pada teknik kuantitatif maupun kualitatif, tergantung pada sisi mana peneliti memanfaatkannya. Dalam penelitian kualitatif, Analisis Isi ditekankan pada bagaimana peneliti melihat keajekan isi komunikasi secara kualitatif, pada bagaimana peneliti memaknakan isi komunikasi, membaca simbol-simbol, memaknakan isi interaksi simbolis yang terjadi dalam komunikasi. Karya-karya besar dalam penelitian kualitatif tentang penggunaan analisis isi seperti yang dilakukan oleh Max Weber dalam bukunya The proestant ethic dan the spirit of capitalism. Dalam karya ini Max Weber berusaha menentukan apa yang di maknakan dengan “Spirit of capitalism” terutapa dari apa yang di tulis oleh Benyamin Franklik. Namun, Weber lebih banyak bertitik tolak dari kasus-kasus konkret yang bertujuan untuk menciptakan tipe-tipe ideal (ideal types) dari sekadar menghasilkan suatu deskripsi objektif dan sistematis dari tulisan Franklin. Jadi, dalam menyifatkan “Protestan ethic dan spirit of capitalism”, maka Weber mengkaji isi tulisan Franklin secara ideal. Hal ini dilakukan dengan sengaja karena Weber tidak percaya bahwa realitas historis adalah seperti yang dideskripsikan dalam tipe-tipe ideal yang diciptakan, seperti ascetism, rational organization of labour, dan lainnya. Selain itu, penggunaan analisis isi tidak berbeda dengan penelitian kualitatif lainnya. Hanya saja, karena teknik ini dapat digunakan pada pendekatan yang berbeda (baik kuantitatif maupun kualitatif), maka penggunaan analisis isi tergantung pada kedua pendekatan itu. Penggunaan analisis isi untuk penelitian kualitatif tidak jauh berbeda dengan pendekatan lainnya. Awal mula harus ada fenomena komunikasi yang dapat diamati, dalam arti bahwa peneliti harus lebih dulu dapat merumuskan dengan tepat apa yang ingin diteliti dan semua tindkan harus didasarkan pada tujuan tersebut. Langkah berikutnya adalah memilih unit analisis yang akan di uji, memilih objek penelitian yang menjadi sasaran analisis. Kalau objek penelitan berhubungan dengan data-data verbal (hal ini umumnya ditemukan dalam analisis isi), maka perlu disebutkan tempat, tanggal, dan alat komunikasi yang bersangkutan. Namun, kalau objek penelitian berhubungan dengan pesan-pesan dalam suatu media, perlu di lakukan identifikasi terhadap pesan dan media yang mengantarkan pesan itu. Penggunaan analisis isi dapat dilakukan sebagaimana pual W.Missing melakukan studi tentang “The Voice of America”. Analisis isi didahului dengan melakukan coding terhadap istilah-istilah atau penggunaan kata dan kalimat yang relevan, yang paling banyak muncul dalam media komunikasi. Dalam hal pemberian coding, perlu juga di catat konteks mana istilah itu muncul. Kemudian, dilakukan klasifikasi terhadap coding yang telah dilakukan. Klasifikasi dilakukan dengan melihat sejauh mana satauan makna berbungan dengan tujuan penelitian. Klasifikasi ini dimaksudkan untuk membangun kategori dari setiap klasifikasi. Kemudian, satuan makna dan kategori dianalisis dan di cari hubungan satu dengan lainnya untuk menemukan makna, arti, dan tujuan isi komunikasi itu. Hasil analisis ini kemudian dideskripsikan dalam bentuk draf laporan penelitian sebagaimana umumnya laporan penelitian. Bentuk Klasifikasi Ada beberapa bentuk klasifikasi dalam analisis isi. Janis menjelaskan klasifikasi sebagai berikut: 1. Analisis isi pragmatis, dimana klasifikasi dilakukan terhadap tanda menurut sebab akibatnya yang mungkin. Misalnya, berapa kali suatu kata diucapkan yang dapat mengakibatkan munculnya sikap suka terhadap produk sikat gigi A. 2. Analisis isi semantik, di lakukan untuk mengklasifikasikan: tanda menurut maknanya. Jenis Analisis Isi Analisis ini terdiri dari tiga jenis sebagai berikut: 1. Analisis penunjukan (designation), menggambarkan frekuensi seberapa sering objek tertentu (orang, benda, kelompok, atau konsep) dirujuk. 2. Analisis penyifatan (attributions), menggambarkan frekuensi seberapa sering karakterisasi dirujuk (misalnya referensi kepada ketidakjujuran, kenakalan, penipuan, dan sebagainya). 3. Analisis pernyataan (assertions), menggambarkan frekuensi seberapa sering objek tertentu dikarakteristikkan secara khusus. Analisis ini secara kasar di sebut analisis tematik. Contohnya, referensi terhadap perilaku nyontek di kalangan mahasiswa sebagai maling, pembohong dan sebagainya 4. Analisis sarana tanda (sign-vechile), dilakukan untuk mengklasifikasi isi pesan melalui sifat psikofisik dari tanda, misalnya berapa kali kata cantik muncul, kata seks muncul. Dalam penelitian kualitatif, penggunaan analisis isi lebih banyak ditekankan pada bagaimana simbol-simbol yang ada pada komunikasi itu terbaca dalam interaksi sosial dan bagimana simbol-simbol itu terbaca dan dianalisis oleh peneliti. Sebagaimana penelitian kualitatif lainnya, kredebilitas peneliti menjadi amat penting. Analisis isi memerlukan peneliti yang mampu menggunakan ketajaman analisisnya untuk merajut fenomena isi komunikasi menjadi fenomena sosial yang terbaca oleh orang pada umumnya. Dapat dipahami bahwa makna simbol dan interaksi amat majemuk sehingga penafsiran ganda terhadap objek simbol tunggal umumnya menjadi fenomena umum dalam penelitian sosial. Oleh karena itu, analisis isi menjadi tantangan sangat besar bagi peneliti itu sendiri. Oleh karena itu, pemahaman dasar terhadap kultur dimana komunikasi itu terjadi amat penting. Kultur ini menjadi muara yang luas terhadap berbagai macam bentuk komunikasi di masyarakat. Pada penelitian kualitatif, terutama dalam strategi verifikasi kualiatif, teknik analisis data ini diangap sebagai teknik analisis data yang sering digunakan. Namun selain itu pula, teknik analisis ini dipandang sebagai teknik analisis data yang paling umum. Artinya, teknik ini adalah yang paling abstrak untuk menganalisis data-data kualitatif. Analisis Isi berangkat dari anggapan dasar dari ilmu-ilmu sosial bahwa studi tentang proses dan isi komunikasi adalah dasar dari studi-studi ilmu sosial. Deskripsi yang diberikan para ahli sejak janis (1949), Berelson (1952) sampai Lindzey dan Aronso (1968) tentang Content Anlysis, selalu menampilkan tiga syarat, yaitu: objektivitas, pendekatan sistematis dan generalisasi. Analisis isi sering digunakan dalam analisis-analisis verifikasi. Cara kerja atau logika analisis data ini sesungguhnya sama dengan kebanyakan analisis data kuantitatif. Peneliti memulai analisisnya dengan menggunakan lambang-lambang tertentu, mengklasifikasikan data tersebut dengan kriteria-kriteria tertentu serta melakukan prediksi dengan teknik analisis yang tertentu pula. Secara lebih jelas, alur analisis dengan menggunakan Teknik Analisis Isi (Content Analysis).

Minggu, 29 Juli 2012

TERTIB KADERISASI DI PMII

EKO SETIA BUDI WAKIL SEKJEN Pengurus Besar PMII : BAGIAN ADVOKASI Saya akan melihat kaderisasi di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia berdasarkan hasil workshop pengkaderan nasional kemarin, dan juga akan dipadukan dengan kondisi di jawa timur. Ini belum menjadi acuan yang baku, rencananya awal pebruari akan dibahas. Harapannya bisa bareng-bareng dijadikan sebagai acuan bersama di PMII. Realitas yang terjadi di PMII, ada satu system kaderisasi normal yang harus berjalan secara normal, misalnya MAPABA, PKD, dan PKL. Baik secara kualitas maupun kuantitas, misalnya penurunan peserta dari MAPABA PKD dan PKL. Ini pertanyaan besar yang harus kita jawab. Wilayah antar pengkaderan formal dan informal yang menjadi orientasi Pengurus Besar untuk mengadakan workshop kaderisasi di Jakarta. Dalm kampus umum diharapkan konteks pengetahuan menjadi satu gerak bersama bukan hanya sebuah perspektif. Untuk konteks lokal perlu ada penekanan tersendiri pada masing – masing wilayah. Sehingga diperlukan sebuah kontekstualisasi pengkaderan di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia sehingga tidak hanya jadi satu perspektif tapi sebuah gerak bersama. Kaderisasi informal banyak dibahasakan dengan BTI misalnya, kaderisasai non formal untuk menunjang registrasi formal kaderisasi, kualitas sdm kader, penguatan basic kader. Kader informal lebih banyak dibangun untuk rasa kebersamaan mandate Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, lebih pada kuantitas. Kaderisasi non formal membangun terciptanya sinergisitas kaderisasi informal dan formal. Problem nasional adalah konteks basic needs local yang berbeda – beda.

ORGANISASI Dan KEPEMINPINAN

Berbicara organisasi tidak terlepas dari sekumpulan orang yang mempunyai visi dan misi bersama, apapun bentuk organisasinya. Organisasi adalah sebuah wadah yang mengikat orang-orang yang mempunyai kesadaran untuk memberikan ilmu-ilmunya terhadap organisasi, organisasi tidak akan pernah memberikan apa-apa terhap individu-individu namun organisasi memberikan ruang dan peluang untuk berkreasi dan memberikan kebebasan berexsperesi. Pertanyaan yang sederhana terhadap organisai yaitu apa itu organisas? dan tujuan organisasi itu untuk apa? ini pertanyaan yang sederhana tetapi memerlukan jawaban yang jelas sehingga organisasi mempunyai paradigma yang jelas Untuk ditranspormasikan terhadap masyarakat. Unsur-Unsur Organisasi  Objek (manusia)  Struktur  AD/ART Organisasi  Symbol  Visi-misi  Materi  Kesadaran bersama  Dll Ini menunjukan bahwa organisasi bukan hanya kepentingan individu tetapi organisasi adalah untuk kepentingan bersama demi teciptanya peroses teranspormasi pendidikan yang mendewasakan masyarakat. KEPEMINPINAN Peminpin tidak terlepas dengan kepeminpinan dan seorang peminpin harus mempunyai dasar keimanan terhadap tuhan yang maha esa dan karakter peminpin mempunyai daya nalar yang cerdas sehingga peminpin organisasi bias melihat apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, dan yang paling penting moral dan tanggung jawab seorang peminpin bias dijadikan tuntunan terhadap kader-kader dan organisasi lain. Persaingan kepeminpinan yang begitu kental tidak sedikit kepeminpinan organisasi dijadikan loncatan untuk kepentingan individu dengan mengorbankan kepentingan bersama. Analisis evaluasi organisasi (POAC) 1. Planning 2. Organizing 3. Activiting 4. Controlling Planning Perencanaan organisasi berangkat dari kepentingan bersama maka yang wajib sebagai peminpin dengan nalar kecerdasan bias memenej keman organisai mau dibawa, dengan visi dan misi organisasi yang jelas maka idiologi organisasi sebagai paradigma yang mencerdasan terhadap kader-kader untuk kemajuan organisasi dan daya jual organisasi demi terciptanya kepentingan bersama. Organizing Pengngorganisiran terhadap kader yang dilakukan dengan cara pengkaderan peminpin dituntut melakukan plow up terhadp anggotanya melalui kebijakan seorang peminpin terhadap pengurus Activating Keaktipan seorang peminpin dengan nalar berorganisasi keingnginan dan kesabaran yang merupakan otak organisasi Controlling Dewasa ini tugas daripada peminpin demi terciptanya organisai yang mempunyai tujuan dan kepentingan bersama maka perlu pengontrolan terhadap AD/ART dan peroduk hukum organisasi sehingga structural organisasi bias berjalan dengan pungsinya.

Rabu, 25 Juli 2012

Komitmen Organisasi

Dalam dunia kerja, komitmen seseorang terhadap organisasi/perusahaan seringkali menjadi isu yang sangat penting. Saking pentingnya hal tersebut, sampai-sampai beberapa organisasi berani memasukkan unsur komitmen sebagai salah satu syarat untuk memegang suatu jabatan/posisi yang ditawarkan dalam iklan-iklan lowongan pekerjaan. Sayangnya meskipun hal ini sudah sangat umum namun tidak jarang pengusaha maupun pegawai masih belum memahami arti komitmen secara sungguh-sungguh. Padahal pemahaman tersebut sangatlah penting agar tercipta kondisi kerja yang kondusif sehingga perusahaan dapat berjalan secara efisien dan efektif. Dalam rangka memahami apa sebenarnya komitmen individu terhadap organisasi/perusahaan, apa dampaknya bila komitmen tersebut tidak diperoleh dan mengapa hal tersebut perlu dipahami, penulis mencoba menjelaskannya dalam artikel pendek ini. Pengertian Porter (Mowday, dkk, 1982:27) mendefinisikan komitment organisasi sebagai kekuatan yang bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasikan keterlibatan dirinya kedalam bagian organisasi. Hal ini dapat ditandai dengan tiga hal, yaitu : 1. Penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi. 2. Kesiapan dan kesedian untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama organisasi. 3. Keinginan untuk mempertahankan keanggotaan di dalam organisasi (menjadi bagian dari organisasi). Sedangkan Richard M. Steers (1985 : 50) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai rasa identifikasi (kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi), keterlibatan (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi) dan loyalitas (keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang pegawai terhadap organisasinya. Steers berpendapat bahwa komitmen organisasi merupakan kondisi dimana pegawai sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya. Komitmen terhadap organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan. Berdasarkan definisi ini, dalam komitmen organisasi tercakup unsur loyalitas terhadap organisasi, keterlibatan dalam pekerjaan, dan identifikasi terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi. Secara singkat pada intinya beberapa definisi komitmen organisasi dari beberapa ahli diatas mempunyai penekanan yang hampir sama yaitu proses pada individu (pegawai) dalam mengidentifikasikan dirinya dengan nilai-nilai, aturan-aturan, dan tujuan organisasi. Disamping itu, komitmen organisasi mengandung pengertian sebagai sesuatu hal yang lebih dari sekedar kesetiaan yang pasif terhadap organisasi, dengan kata lain komitmen organisasi menyiratkan hubungan pegawai dengan perusahaan atau organisasi secara aktif. Karena pegawai yang menunjukkan komitmen tinggi memiliki keinginan untuk memberikan tenaga dan tanggung jawab yang lebih dalam menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja. Jenis Komitmen Komitmen organisasi dapat dibedakan menjadi 2 bagian : 1. Jenis Komitmen menurut Allen & Meyer Allen dan Meyer (dalam Dunham, dkk 1994: 370 ) membedakan komitmen organisasi atas tiga komponen, yaitu : afektif, normatif dan continuance. 1. Komponen afektif berkaitan dengan emosional, identifikasi dan keterlibatan pegawai di dalam suatu organisasi. 2. Komponen normatif merupakan perasaan-perasaan pegawai tentang kewajiban yang harus ia berikan kepada organisasi. 3. Komponen continuance berarti komponen berdasarkan persepsi pegawai tentang kerugian yang akan dihadapinya jika ia meninggalkan organisasi. Meyer dan Allen berpendapat bahwa setiap komponen memiliki dasar yang berbeda. Pegawai dengan komponen afektif tinggi, masih bergabung dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi. Sementara itu pegawai dengan komponen continuance tinggi, tetap bergabung dengan organisasi tersebut karena mereka membutuhkan organisasi. Pegawai yang memiliki komponen normatif yang tinggi, tetap menjadi anggota organisasi karena mereka harus melakukannya. Setiap pegawai memiliki dasar dan tingkah laku yang berbeda berdasarkan komitmen organisasi yang dimilikinya. Pegawai yang memiliki komitmen organisasi dengan dasar afektif memiliki tingkah laku berbeda dengan pegawai yang berdasarkan continuance. Pegawai yang ingin menjadi anggota akan memiliki keinginan untuk menggunakan usaha yang sesuai dengan tujuan organisasi. Sebaliknya, mereka yang terpaksa menjadi anggota akan menghindari kerugian finansial dan kerugian lain, sehingga mungkin hanya melakukan usaha yang tidak maksimal. Sementara itu, komponen normatif yang berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi, tergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban yang dimiliki pegawai. Komponen normatif menimbulkan perasaan kewajiban pada pegawai untuk memberi balasan atas apa yang telah diterimanya dari organisasi. 2. Jenis komitmen organisasi dari Mowday, Porter dan Steers Komitmen organisasi dari Mowday, Porter dan Steers lebih dikenal sebagai pendekatan sikap terhadap organisasi. Komitmen organisasi ini memiliki dua komponen yaitu sikap dan kehendak untuk bertingkah laku. Sikap mencakup: 1. Identifikasi dengan organisasi yaitu penerimaan tujuan organisasi, dimana penerimaan ini merupakan dasar komitmen organisasi. Identifikasi pegawai tampak melalui sikap menyetujui kebijaksanaan organisasi, kesamaan nilai pribadi dan nilai-nilai organisasi, rasa kebanggaan menjadi bagian dari organisasi. 2. Keterlibatan sesuai peran dan tanggungjawab pekerjaan di organisasi tersebut. Pegawai yang memiliki komitmen tinggi akan menerima hampir semua tugas dna tanggungjawab pekerjaan yang diberikan padanya. 3. Kehangatan, afeksi dan loyalitas terhadap organisasi merupakan evaluasi terhadap komitmen, serta adanya ikatan emosional dan keterikatan antara organisasi dengan pegawai. Pegawai dengan komitmen tinggi merasakan adanya loyalitas dan rasa memiliki terhadap organisasi. Sedangkan yang termasuk kehendak untuk bertingkah laku adalah: 1. Kesediaan untuk menampilkan usaha. Hal ini tampak melalui kesediaan bekerja melebihi apa yang diharapkan agar organisasi dapat maju. Pegawai dengan komitmen tinggi, ikut memperhatikan nasib organisasi. 2. Keinginan tetap berada dalam organisasi. Pada pegawai yang memiliki komitmen tinggi, hanya sedikit alasan untuk keluar dari organisasi dan berkeinginan untuk bergabung dengan organisasi yang telah dipilihnya dalam waktu lama. Jadi seseorang yang memiliki komitmen tinggi akan memiliki identifikasi terhadap organisasi, terlibat sungguh-sungguh dalam pegawaian dan ada loyalitas serta afeksi positif terhadap organisasi. Selain itu tampil tingkah laku berusaha kearah tujuan organisasi dan keinginan untuk tetap bergabung dengan organisasi dalam jangka waktu lama. Menumbuhkan Komitmen Komitmen organisasi memiliki tiga aspek utama, yaitu : identifikasi, keterlibatan dan loyalitas pegawai terhadap organisasi atau organisasinya 1. Identifikasi Identifikasi, yang mewujud dalam bentuk kepercayaan pegawai terhadap organisasi, dapat dilakukan dengan memodifikasi tujuan organisasi, sehingga mencakup beberapa tujuan pribadi para pegawai ataupun dengan kata lain organisasi memasukkan pula kebutuhan dan keinginan pegawai dalam tujuan organisasinya. Hal ini akan membuahkan suasana saling mendukung diantara para pegawai dengan organisasi. Lebih lanjut, suasana tersebut akan membawa pegawai dengan rela menyumbangkan sesuatu bagi tercapainya tujuan organisasi, karena pegawai menerima tujuan organisasi yang dipercayai telah disusun demi memenuhi kebutuhan pribadi mereka pula (Pareek, 1994 : 113). 2. Keterlibatan Keterlibatan atau partisipasi pegawai dalam aktivitas-aktivitas kerja penting untuk diperhatikan karena adanya keterlibatan pegawai menyebabkab mereka akan mau dan senang bekerja sama baik dengan pimpinan ataupun dengan sesama teman kerja. Salah satu cara yang dapat dipakai untuk memancing keterlibatan pegawai adalah dengan memancing partisipasi mereka dalam berbagai kesempatan pembuatan keputusan, yang dapat menumbuhkan keyakinan pada pegawai bahwa apa yang telah diputuskan adalah merupakan keputusan bersama. Disamping itu, dengan melakukan hal tersebut maka pegawai merasakan bahwa mereka diterima sebagai bagian yang utuh dari organisasi, dan konsekuensi lebih lanjut, mereka merasa wajib untuk melaksanakan bersama apa yang telah diputuskan karena adanya rasa keterikatan dengan apa yang mereka ciptakan (Sutarto, 1989 :79). Hasil riset menunjukkan bahwa tingkat kehadiran mereka yang memiliki rasa keterlibatan tinggi umumnya tinggi pula (Steer, 1985). Mereka hanya absen jika mereka sakit hingga benar-benar tidak dapat masuk kerja. Jadi, tingkat kemangkiran yang disengaja pada individu tersebut lebih rendah dibandingkan dengan pegawai yang keterlibatannya lebih rendah. Ahli lain, Beynon (dalam Marchington, 1986 : 61) mengatakan bahwa partisipasi akan meningkat apabila mereka menghadapi suatu situasi yang penting untuk mereka diskusikan bersama, dan salah satu situasi yang perlu didiskusikan bersama tersebut adalah kebutuhan serta kepentingan pribadi yang ingin dicapai oleh pegawai dalam organisasi. Apabila kebutuhan tersebut dapat terpenuhi hingga pegawai memperoleh kepuasan kerja, maka pegawaipun akan menyadari pentingnya memiliki kesediaan untuk menyumbangkan usaha dan kontribusi bagi kepentingan organisasi. Sebab hanya dengan pencapaian kepentingan organisasilah, kepentingan merekapun akan lebih terpuaskan. 3. Loyalitas loyalitas pegawai terhadap organisasi memiliki makna kesediaan seseorang untuk melanggengkan hubungannya dengan organisasi, kalau perlu dengan mengorbankan kepentingan pribadinya tanpa mengharapkan apapun (Wignyo-soebroto, 1987). Kesediaan pegawai untuk mempertahankan diri bekerja dalam organisasi adalah hal yang penting dalam menunjang komitmen pegawai terhadap organisasi dimana mereka bekerja. Hal ini dapat diupayakan bila pegawai merasakan adanya keamanan dan kepuasan di dalam organisasi tempat ia bergabung untuk bekerja. Pegawai Kontrak Mengingat bahwa seringkali di dalam suatu organisasi terdiri dari pegawai tetap dan juga pegawai kontrak, maka masalah komitmen seringkali menjadi pertanyaan pihak organisasi terhadap pegawai kontrak. Secara psikologis tentu perlu dicermati, karena komitmen organisasi, munculnya lebih psikologis dibanding kebutuhan sosial-ekonomi yang bersumber dari gaji atau upah. Orang mencari kerja awalanya agar memperolah status sebagai pegawai dan mendapatkan imbalan berupa gaji atau upah. Namun setelah bekerja tuntutannya cenderung menjadi meningkat, misalnya apakah suasana kerjanya menyenangkan atau tidak, apakah ia merasa sejahtera atau tidak, merasa puas dengan pekerjaan dan apa yang didapat, dsb. Semua faktor tersebut akan memberikan andil terhadap munculnya komitmen organisasi. Pada pegawai kontrak, umumnya masa 6 (enam) bulan pertama adalah periode dimana pegawai baru menyesuaikan diri dengan tugas, dan biasanya pada saat tersebut lah ia baru terlihat efisien dalam menjalankan tugas-tugasnya. Namun sayangnya jika ia ternyata cuma dikontrak 1 (satu) tahun, maka dalam bulan-bulan berikutnya ia sudah harus berpikir bahwa akhir tahun masa kontrak habis dan harus memperpanjang, itupun masih meragukan apakah dapat diperpanjang atau tidak; jika secara kebetulan ternyata tidak dapat diperpanjang maka secara disadari atau tidak ketentraman dalam menjalankan tugas terganggu. Begitu juga jika diperpanjang untuk tahun kedua, maka pada akhir tahun pegawai umumnya sudah terlihat gelisah karena setelah tahun kedua kemungkinan untuk diperpanjang snagat kecil (terbentur peraturan, dll), sehingga efisiensi kerjanya menjadi kurang, karena perhatiannya pasti lebih tercurah untuk mencari kerja di tempat lain. Dalam kondisi tersebut maka bagi pegawai kontrak tentu sulit diukur tingkat komitmennya terhadap organisasi, apalagi jika kita melihat bahwa komitmen tersebut menyangkut aspek loyalitas dan sebagainya. Dengan dasar ini maka penting bagi pihak manajemen (pengusaha) untuk menentukan pekerjaan atau jabatan apa saja yang cocok untuk pegawai kontrak sehingga tidak merugikan organisasi di kemudian hari. Dua Pihak Dengan membaca uraian di atas, maka terlihat bahwa komitmen individu terhadap organisasi bukanlah merupakan suatu hal yang terjadi secara sepihak. Dalam hal ini organisasi dan pegawai (individu) harus secara bersama-sama menciptakan kondisi yang kondusif untuk mencapai komitmen yang dimaksud. Sebagai contoh: seorang pegawai yang semula kurang memiliki komitmen, namun setelah bekerja ternyata selain ia mendapat imbalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku ternyata didapati adanya hal-hal yang menarik dan memberinya kepuasan. Hal itu tentu akan memupuk berkembangnya komitmen individu tersebut terhadap organisasi. Apalagi jika tersedia faktor-faktor yang dapat memberikan kesejahteraan hidup atau jaminan keamanan, misalnya ada koperasi, ada fasilitas transportasi, ada fasilitas yang mendukung kegiatan kerja maka dapat dipastikan ia dapat bekerja dengan penuh semangat, lebih produktif, dan efisien dalam menjalankan tugasnya. Sebaliknya jika iklim organisasi kerja dalam organisasi tersebut kurang menunjang, misalnya fasilitas kurang, hubungan kerja kurang harmonis, jaminan sosial dan keamanan kurang, maka secara otomatis komitment individu terhadap organisasi menjadi makin luntur atau bahkan mungkin ia cenderung menjelek-jelekkan tempat kerjanya. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan berbagai gejolak seperti korupsi, mogok kerja, unjuk rasa, pengunduran diri, terlibat tindakan kriminal dan sebagainya.

Senin, 09 Juli 2012

MANAJEMEN ORGANISASI

Istilah “manajemen” seringkali menimbulkan tanggapan yang campur aduk, apalagi di lingkungan organisasi nirlaba. Soalnya istilah-istilah tersebut menimbulkan kesan sebagai suatu kumpulan pejabat organisasi perusahaan atau pabrik (karena istilah ini memang berasal dari sana)yang menentang para pekerja mereka, padahal organisasi nirlaba justru sangat tertarik untuk mengorganisir kaum buruh. Seringkali istilah manajemen memang diartikan sebagai sekelompok orang pimpinan dalam “manajemen” . Kita seringkali mendengar seseorang di sebuah perubahan atau pabrik mengatakan: “Pihak manajemen sudah memutuskan...”, “Saya sudah melaporkan kepada pihak manajemen” dan sebagainya. Kelompok(pimpinan) manajemen ini memang sering dianggap sebagai biang keladi semua ketidakberesan yang terjadi dalam suatu organisasi, atau bahkan ketidakberesan yang terjadi di tengah masyarakat luas. Tidak heran jika banyak manajer yang sering tak mau dikenali sebagai manajer. Lebih dari itu, istilah manajemen terlalu sering dikaitkan dengan sebuah perusahaan yang sekedar mencari untung.(Terj: Roem Topatimasang, P3M, 1988) Penggalan paragraf diatas menunjukkan bahwa sebetulnya istilah “manajemen” masih bias. Ada semacam anggapan bahwa manajemen organisasi adalah tidak sama antara masing-masing organisasi, provit dan non-provit. Dalam organisasi provit, hal ini lebih dikenal dengan istilah Public Relations(PR). Dalam tulisan ini akan dijelaskan pengertian manajemen yang sesuai dengan organisasi nirlaba. Bahwasanya setiap organisasi membutuhkan suatu sistem yang menjalankan fungsi-fungsi vital, sebagai berikut: Mengintegrasikan organisasi sebagai salah satu bagian dari masyarakat luas Setiap organisasi adalah bagian dari suatu sistem yang lebih besar (masyarakat) yang akan mempengaruhi sistem, dan organisasi itu merupakan salah satu bagian (sub-sistem)nya. Ini penting dipahami karena seseorang atau kelompok-kelompok tertentu akan mencurahkan perhatiannya pada hubungan antara organisasi dengan lingkungannya dalam rangka membantu organisasi untuk mengetahui, menyerap perubahan dan menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan tersebut. Menjamin kemudahan memperoleh sumberdaya Fungsi ini merupakan fungsi yang sangat penting. Sebab semua organisasi memperoleh sumberdaya di lingkungannya. Sumberdaya tersebut umumnya terpakai habis, sehingga sumberdaya yang baru harus segera ditemukan. Jika organisasi gagal memberikan pelayanan jasa yang tepatguna dan boros menyalurkan sumberdaya dari lingkungannya, cepat atau lambat kemudahan mendapatkan sumberdaya tersebut semakin terbatas. Padahal sebuah organisasi nirlaba menggantungkan dana hibah dari luar, dan setiap orang dalam organisasi itu tahu bagaimana pentingnya menjaga hubungan yang baik dengan donor yang menjadi sumbernya. Sumberdaya lain yang terpenting adalah manusia. Bagi organisasi nirlaba, hal ini menjadi lebih penting dibandingkan dengan organisasi yang lain. Anggota yang potensial atau sukarelawan akan mempertimbangkan visi, misi, tujuan dan pencapaian hasil organisasi. Pekerja yang potensial atau sukarelawan akan mempertimbangkan hal-hal tersebut sebagai dasar apakah ia akan bergabung atau tidak dengan organisasi tersebut. Jadi kemudahan memperoleh sumberdaya manusia harus tetap menjadi perhatian dari manajemen organisasi nirlaba. Hubungan dengan klien(Pemakai dan penerima jasa) Suatu organisasi didirikan untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Adanya kebutuhan tersebut mendorong lahirnya organisasi sehingga orang-orang mau menjadi kliennya. Melakukan pendekatan dengan orang-orang adalah perhatian utama dari manajemen organisasi nirlaba. Selama organisasi memuaskan kebutuhan klien, hubungan baik dengan mereka mungkin tidak menjadi masalah. Tetapi, organisasi dapat kehilangan hubungan baiknya dengan klien, karena pemenuhan kebutuhan mereka tidak berlanjut atau karena beberapa alasan lain. Sekali suatu organisasi telah dibentuk, ia harus bekerja keras untuk memenuhi tuntutan kebutuhan kliennya, meskipun pada awalnya tampak mereka tidak mau memenuhi kebutuhan tersebut. Pada organisasi nirlaba, mereka tidak segan-segan mengeluarkan biaya demi mempertahankan hubungan baik dengan konsumen mereka, dan telah menemukan berbagai metode kreatif untuk mendapatkan dukungan dari pelanggan potensial. Organisasi dapat belajar dari pengalaman tersebut. Memantapkan misi organisasi Semua organisasi membutuhkan kemantapan dan keberlangsungan misi mereka. Ini merupakan fungsi dari sistem manajemen organisasi nirlaba unjuk menjelaskan dan menyampaikannya kepada klien. Penjelasan tersebut harus memuat aspek-aspek penting organisasi, termasuk jasa kepada klien, pencapaian hasil kerja dan produktivitas, penggunaan sumberdaya fisik dan finansial, penggunaan sumberdaya manusia, tanggungjawab kemasyarakatan, pembaharuan-pembaharuan, dan hasil-hasil karya kreatif yang telah dicapai selama ini. Perencanaan, Pengorganisasian, Pengarahan, Pengendalian, dan Evaluasi Ini merupakan sederetan fungsi-fungsi manajemen tradisional yang dibutuhkan oleg organisasi nirlaba untuk menjamin organisasi yang bersangkutan berjalan baik. Fungsi perencanaan mencakup perumusan tujuan jangka pendek dan jangka panjang organisasi, serta mengembangkan strategi untuk mencapai tujuan tersebut. Fungsi pengorganisasian adalah memadukan orang-orang dan tugas-tugas mereka dalam suatu struktur yang terencana, bukan semata-mata demi tugas itu sendiri, tetapi juga memuaskan kebutuhan orang-orang yang melaksanakannya. Jika organisasi tumbuh dan semakin menjadi besar, kebutuhan akan pengarahan muncul pula. Oleh sebab itu fungsi pengendalian harus diberlakukan juga. Fungsi pengawasan ini perlu untuk menjaga agar organisasi tetap berjalan pada jalurnya dan untuk mengorek kesalahan yang terjadi. Akhirnya, fungsi evaluasi dibutuhkan untuk menentukan tercapai atau tidaknya tujuan organisasi. Mengintegrasikan Sub-Sistem Sosial dan Tugas-tugas Sub-sistem sosial suatu organisasi menjamin penyediaan orang-orang yang mau bekerja dan sub-sistem tugas menentukan pekerjaan apa yang harus dilakukan oleh mereka. Kedua sub-sistem ini akan menimbulkan kegawatan jika antara keduanya saling bertentangan. Mesti ada sistem manajemen yang harus menjamin, bahwa kedua sub-sistem ini benar-benar berjalan seiring. Kita semua pasti memiliki pengalaman bekerja di dalam suatu sistem dimana pekerjaan-pekerjaan tersebut dicampur-adukkan dengan motivasi kita untuk melaksanakannya. Atau, kita-pun sudah sering melaksanakan tugas yang terlalu enteng, rutin, monoton dan membosankan; atau tugas-tugas justru terlalu rumit, terputus-putus dan membingungkan. Jika hal ini terjadi, sulit mempertahankan staf yang berkemampuan agar betah bekerja. Contoh-contoh klasik dari dua keadaan ekstrim ini adalah putusnya hubungan baik dengan staf pada suatu sisi dan tidak berdayanya tim pemecah masalah tersebut pada sisi yang lain. Hal-hal di atas merupakan unsur-unsur penting dan mutlak dalam suatu organisasi. Semuanya merupakan suatu ukuran baku yang disebut sebagai Fungsi Manajemen. Tulisan ini disusun atas dasar kaidah-kaidah tersebut.

KEORGANISASIAN

Secara sederhana organisasi dapat diberi pengertian sebagai suatu system yang saling berpengaruh antar orang dalam kelompok yang bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama. Lengkapnya dapat dinyatakan sebagai suatu kesatuan sosial dari sekelompok manusia yang saling berinteraksi menurut pola tertentu, sehingga setiap anggotanya memiliki fungsi dan tugas masing-masing, utamanya lagi kesatuan tersebut mampunyai batas-batas yang jelas sehingga dapat dipisahkan secara tegas dari lingkungannya (Lubis dan Martin,1989). Administrasi sebagai Total Sistem Biasanya administrasi didefinisikan sebagai keseluruhan proses kegiatan pelaksanaan usaha bersama yang dilakukan dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya secara efektif dan efisien atau bisa juga ditambah secara ekonomis dan produktif. Dari konsep tersebut maka administrasi harus terdesain oleh kerangka dasar yakni manajemen, leadership, pengambilan keputusan, human relations, manusia dan sarana kerja (SP. Siagian, 74). Secara khusus ilmu manajemen didefinisikan sebagai yang mempelajari bagaimana cara menapai tujuan, fungsi apa saja yang harus dilakukan dengan menggunakan alat, tenaga orang, ide, dan system secara efektif dan efisien. Manajemen, sebagai komponen dari administrasi dapat di tinjau dari tiga segi : • Kepemimpinan, tidak dimaksudkan melakukan sendiri kegiatan-kegiatan operasional akan tetapi menjamin orang lain mengerjakan hal-hal yang sesuai dengan kebijaksanaan, keputusan, dan pedoman yang telah diberikan. kepemimpinan mempunyai dua atribut menurut Mellit yaitu personal dan institusional, Atribut – atribut personal kepemimpinan mencakup intelegensi, keberanian, integritas kekuatan, kesiapan fisik, determinasi, ketekunan, kerja keras, kecerdikan dan bahkan terkadang kebingisan, Sedangkan atribut institusional kepemimpinan mencakup status, kekayaan, posisi, dan kolega atau teman yang mampu, kesempatan atau peluang yang khusus, suatu hubungan tertentu antara harapan atau aspirasi rakyat dengan penampilan kepemimpinan dan lain – lain. Atribut –atribut kepemimpinan, baik personal atau institusional akan sangat menentukan efektif tidaknya kepemimpinan. Dengan demikian seorang pemimpin memang di tuntut mempunyai berbagai kelebihan dari yang dipinpin, seperti keunggulan emosional, keunggulan kecerdasan, keunggulan ketrampilan, keunggulan fisik, kekayaan dan lain sebagainya. • Pengambilan keputusan, kesuksesan seorang pemimpin bukan hanya dilihat dari banyaknya jabatan atau pangkat saja. Tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana ia memanage organisasi, bersikap dan mengambil keputusan secara cermat, cerdas, dan cepat. Analisa yang dapat digunakan dalam decition making adalah menggunakan instrument analisa SWOT (Strength/kekuatan, Weakness/kelemahan oprtunity/peluang, Treats/ancaman) Human Relation, hasil dari kebulatan keputusan tadi pada proses tindak lanjutnya sebaiknya berpijak pada unsur kemanusiaan dan jika digerakkan dengan tepat maka akan menjadi efisien dan jika tidak demikian maka terkadang manusia justru akan menjadi unsur perusak rencana (Destroyer of Planning). Perencanaan, Pengorganisasian, Pengarahan, Pengendalian, dan Evaluasi Ini merupakan sederetan fungsi-fungsi manajemen tradisional yang dibutuhkan oleh organisasi nirlaba untuk menjamin organisasi yang bersangkutan berjalan baik. Fungsi perencanaan mencakup perumusan tujuan jangka pendek dan jangka panjang organisasi, serta mengembangkan strategi untuk mencapai tujuan tersebut. Fungsi pengorganisasian adalah memadukan orang-orang dan tugas-tugas mereka dalam suatu struktur yang terencana, bukan semata-mata demi tugas itu sendiri, tetapi juga memuaskan kebutuhan orang-orang yang melaksanakannya. Jika organisasi tumbuh dan semakin menjadi besar, kebutuhan akan pengarahan muncul pula. Oleh sebab itu fungsi pengendalian harus diberlakukan juga. Fungsi pengawasan ini perlu untuk menjaga agar organisasi tetap berjalan pada jalurnya dan untuk mengorek kesalahan yang terjadi. Akhirnya, fungsi evaluasi dibutuhkan untuk menentukan tercapai atau tidaknya tujuan organisasi. Dari kaca mata manajemen ada beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan : Pertama, Aspek Sumber Daya Manusia merupakan aset penting yang dimiliki oleh suatu organisasi, sehingga sisi manajerial merupakan konsekuensi lebih jauh dalam mencapai efektifitas organisasi. Kedua, Aspek legal formal, kebijakan dan prosedur yang harus ditempuh dalam mencapai tujuan institusional. Ketiga, Kultur; tata nilai yang melatar belakangi perilaku manajerial sesuatu institusi dalam mencapai tujuannya yang dilingkungan perusahaan dikenal dengan istilah Corporate Culture. Keempat, Integrasi; Yang memungkinkan timbulnya kebersamaan dalam lingkungan sumberdaya manusia dalam suatu organisasi, sehingga sangat potensial dalam mencapai tujuan organisasi. (Michael Armstrong, 1998) Di dalam menajemen dibutuhkan beberapa persyaratan : 1. harus ada tujuan/platform 2. harus ada masyarakat/anggota 3. harus ada manager/leader 4. harus ada kerjasama/corporate 5. harus ada system/mekanisme kerja yang kongkrit. Persoalannya kemudian adalah sejauh mana sistem yang ada diorganisasi kita mampu menciptakan suasana kondusif bagi perkembangan potensi anggotanya.

Rabu, 13 Juni 2012

Ruang Lingkup Filsafat

Para ahli mengatakan bahwa ruang lingkup dari ilmu filsafat yaitu : ü Tentang hal mengerti, syarat-syaratnya dan metode-metodenya. ü Tentang ada dan tidak ada. ü Tentang alam, dunia dan seisinya. ü Menentukan apa yang baik dan apa yang buruk. ü Hakikat manusia dan hubungannya dengan sesama makhluk lainnya. ü Tuhan tidak dikecualikan. Filsafat itu erat hubungannya dengan pengetahuan biasa, tetapi mengatasinya karena dilakukan dengan cara ilmiah dan mempertanggungjawabkan jawaban-jawaban yang diberikannya. Filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempunyai sifat-sifat ilmu pengetahuan tapi. Akan tetapi jelaslah bahwa filsafat tidak termasuk ruangan ilmu pengetahuan yang khusus. Filsafat boleh dikatakan suatu ilmu pengetahuan, tetapi obyeknya tidak terbatas, jadi mengatasi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya merupakan bentuk ilmu pengetahuan yang tersendiri, tingkatan pengetahuan tersendiri. Para ahli mengatakan bahwa ruang lingkup dari ilmu filsafat yaitu : a. Tentang hal mengerti, syarat-syaratnya dan metode-metodenya. b. Tentang ada dan tidak ada. c. Tentang alam, dunia dan seisinya. d. Menentukan apa yang baik dan apa yang buruk. e. Hakikat manusia dan hubungannya dengan sesama makhluk lainnya. f. Tuhan tidak dikecualikan. Ruang lingkup dari filsafat yaitu : a. Tentang pengetahuan : logika yang memuat : a. Logika formil yang mempelajari asas-asas atau hukum-hukun berpikir yang harus ditaati agar kita dapat berpikit dengan benar dan mencapai kebenaran. jadi bagaimana orang harus berpikir dengan baik dan aturan-aturan untuk itu. Hukum-hukum logika berlaku dan penting bagi semua ilmu pengetahuan lainnya pula, bagi filsafat merupakan alat yang harus dikuasai lebih dahulu. b. Logika materiil kritik (epistimologi) Yang memandang ilmu pengetahuan (materil) dan bagaimana isi ini dapat dipertanggungjawabkan. Jadi mempelajari perihal : 1. Sumber dan asal pengetahuan 2. Alat-alat pengetahuan 3. Proses terjadinya pengetahuan 4. Kemungkinan dan batas pengetahuan 5. Kebenaran dan kekeliruan 6. Metode ilmu pengetahuan dan lain-lain. b. Tentang “ada” : metafisika atau ontology Hal ini mengupas tentang : 1. Apakah arti ada itu? 2. Apakah kesempurnaannya ada itu? 3. Apakah tujuannya ada itu? 4. Apakah sebab dan akibat? 5. Apakah yang merupakan dasar yang terdalam dari setiap barang yang ada itu? c. Tentang dunia material : kosmologi Hal ini membicarakan tentang asal mula atau sumber dan susunan atau struktur dari alam semesta. d. Tentang manusia : filsafat tentang manusia. Orang mengetahui tentang “ada” itu dari adanya sendiri. e. Tentang kesusilaan : etika Manusia itu yakin dan wajib berbuat baik dan menghindarkan yang tidak baik itu menimbulkan berbagai soal, yaitu : 1. Apakah yang disebut baik itu? 2. Apakah yang buruk itu? 3. Apakah ukuran baik atau buruk itu? 4. Apakah suara batin itu? 5. Apakah kehendak bebas? 6. Apakah artinya kepribadian itu? f. Tentang Tuhan : Theodyca Hal inilah yang merupakan konsekuensi terakhir dari seluruh pandangan filsafat. Renungan tentang pengetahuan kita itu membuktikan bahwa manusia itu bukan sumber sari segala-segalanya, bukan sumber daripada segala pengetahuan. Singkatnya bahwa ia bukan yang mutlak, sebab itu harus dicari sumber yang terdalam dan sebab yang terakhir, yang mengatasi manusia sendiri dan dunia.

Subjek/ Obyek Filsafat Pendidikan

Subjek filsfat adalah seseroang yang berfikir/ memikirkan hakekat sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam. Seperti halnya pengetahuan, Maka filsafatpun (sudut pandangannya) ada beberapa objek yang dikaji oleh filsafat a. Obyek material yaitu segala sesuatu yang realitas 1. Ada yang harus ada, disebut dengan absoluth/ mutlak yaitu Tuhan Pencipta 2. Ada yang tidak harus ada, disebut dengan yang tidak mutlak, ada yang relatif (nisby), bersifat tidak kekal yaitu ada yang diciptakan oleh ada yang mutlak (Tuhan Pencipta alam semesta) b. Obyek Formal/ Sudut pandangan Filsafat itu dapat dikatakan bersifat non-pragmentaris, karena filsafat mencari pengertian realitas secara luas dan mendalam. Sebagai konsekuensi pemikiran ini, maka seluruh pengalaman-pengalaman manusia dalam semua instansi yaitu etika, estetika, teknik, ekonomi, sosial, budaya, religius dan lain-lain haruslah dibawa kepada filsafat dalam pengertian realita. Menurut Prof Dr. M. J. Langeveld : “……bahwa hakikat filsafat itu berpangkal pada pemikiran keseluruhan sarwa sekalian scara radikan dan menurut sistem”. 1. Maka keseluruhan sarwa sekalian itu ada. Ia adalah pokok dari yang dipikirkan orang dalam filsafat 2. Ada pula pikiran itu sendiri yang terhadap dalam filsafat sebagai alat untuk memikirkan pokoknya 3. Pemikiran itupun adalah bahagian daripada keseluruhan, jadi dua kali ia teradapat dalam filsafat, sebagai alat dan sebagai keseluruhan sarwa sekalian Menurut Mr. D. C Mulder menulis sebagai berikut : “ Tiap-tiap manusia yang mulai berpikir tentang diri sendiri dan tentang tempatnya dalam dunia, akan mengahdapi beberapa persoalan yang begitu penting sehingga persoalan-persoalan itu boleh diberi nama persoalan-persolan pokok”. Louis Kattsoff mengatakan lapangan kerja filsafat itu bukan main luasnya yaitu meliputisegala pengetahuan manusia serta segala sesuatu apa saja yang ingin diketahui manusia. Dr. A. C Ewing mengatakan bahwa kebenaran, materi, budi, hubungan materi dan budi, ruang dan waktu, sebab, kemerdekaan, monisme lawan fluarlisme dan tuhan adalah termasuk pertanyaan-pertanyaan poko filsafat

Filsafat Pendidikan

Pandangan fislafat pendidikan sama dengan perananya merupakan landasan filosofis yang menjiwai seluruk kebijaksanaan pelaksanaan pendidikan. Dimana landasan filsofis merupakan landasan yang berdasarkan atas filsafat. Landasan filsafat menalaah sesautu secara radikal, menyeluruh, dan konseptual tentang religi dan etika yang bertumpu pada penalran. Oleh karena itu antara filsafat dengan pendidikan sangat erat kaitannya, dimana filsafat mencoba merumuskan citra tentang manusia dan masyarkaat sedangkan pendidikan berusahan mewujudkan citra tersebut. Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan. Filsafat mengadakan tinjauan yang luas mengani realita, maka dikupaslan antara lain pandangan dunia dan pandangan hidup. Konsep-konsep mengenai ini dapat menjadi landasan penyusunan konsep tujuan dan metodologi pendidik. Disamping itu, pengalaman pendidik dalam menuntut pertumbuhan danperkembangan anak akan berhubungan dan berkenalan dengan realita. Semuanya itu dapat disampaikan kepada flsafat untuk dijadikan bahan-bahan pertimbangan dan tinjauan untuk memperkembangkan diri. Hubungan filsafat dengan filsafat pendidikan dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Filsafat mempuyai objek lebih luas, sifatnya universal. Sedangkan filsafat pendidikan objeknya terbatas dalam dunia filsafat pendidikan saja 2. Filsafat hendak memberikan pengetahuan/ pendiidkan atau pemahaman yang lebih mendalam dan menunjukkan sebab-sebab, tetapi yang tak begitu mendalam 3. Filsafat memberikan sintesis kepada filsafat pendidikan yang khusus, mempersatukan dan mengkoordinasikannya 4. Lapangan filsafat mungkin sama dengan lapangan filsafat pendidikan tetapi sudut pandangannya berlainan Dalam menerapkan filsafat pendidikan, seoran guru sebagai pendidik dia mengharapkan dan mempunyai hak bahwa ahli-ahli filsafat pendidikan menunjukkan dirinya pda masalah pendiidkan pad aumumnya serta bagaimna amasalah itu mengganggu pada penyekolhan yang menyangkut masalah perumusan tujuan, kurkulum, organisasi sekolah dan sebagainya. Dan para pendidik juga mengahrapkan dari ahli filsafat pendiidkan suatu klasifikasi dari uraian lebih lanjut dari konsep, argumen dirinya literatur pendidikan terutam adalam kotraversi pendidikan sistem-sistem, pengjuian kopetensi minimal dan kesamaan kesepakatan pendidikan. Brubacher (1950) mengemukakan tentang hubungan antara filsafat dengan filsafat pendidikan, dalam hal ini pendidikan : bahwa filsafat tidak hanya melahirkan sains atau pengetahuan baru, melainkan juga melahirkan filsafat pendidikan. Filsafat merupakan kegiatan berpikir manusia yang berusaha untuk mencapai kebijakan dankearifan. Sedangkan filsafat pendidikan merupakan ilmu ayng pad ahakekantya jawab dari pertanyaa-pertanyaan yagn timbul dalam lapangan pendidkan. Oleh karen aberisfat filosofis, dengan sendirinya filsafat pendidikan ini hakekatnya adalah penerapan dari suatu analisa filosofis terhadap lapangan pendidikan.

Interaksi Sosial

Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang menyangkut hubungan antarindividu, individu (seseorang) dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Tanpa adanya interkasi sosial maka tidak akan mungkin ada kehidupan bersama. Proses sosial adalah suatu interaksi atau hubungan timbal balik atau saling mempengaruhi antar manusia yang berlangsung sepanjang hidupnya didalam amasyarakat. Menurut Soerjono Soekanto, proses sosial diartikan sebagai cara-cara berhubungan yang dapat dilihat jika individu dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu serta menentukan sistem dan bentuk hubungan sosial. Pengertian Interaksi Sosial Homans ( dalam Ali, 2004: 87) mendefinisikan interaksi sebagai suatu kejadian ketika suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang terhadap individu lain diberi ganjaran atau hukuman dengan menggunakan suatu tindakan oleh individu lain yang menjadi pasangannya. Konsep yang dikemukakan oleh Homans ini mengandung pengertian bahwa interaksi adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam interaksi merupakan suatu stimulus bagi tindakan individu lain yang menjadi pasangannya. Sedangkan menurut Shaw, interaksi sosial adalah suatu pertukaran antarpribadi yang masing- masing orang menunjukkan perilakunya satu sama lain dalam kehadiran mereka, dan masing- masing perilaku mempengaruhi satu sama lain. Hal senada juga dikemukan oleh Thibaut dan Kelley bahwa interaksi sosial sebagai peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sam lain atau berkomunikasi satu sama lain. Jadi dalam kasus interaksi, tindakan setiap orang bertujuan untuk mempengaruhi individu lain. Pengertian Interaksi sosial menurut Bonner ( dalam Ali, 2004) merupakan suatu hubungan antara dua orang atau lebih individu, dimana kelakuan individu mempengaruhi, mengubah atau mempengaruhi individu lain atau sebaliknya. Pengertian Interkasi sosial menurut beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa, interaksi adalah hubungan timbal balik anatara dua orang atau lebih, dan masing-masing orang yang terlibat di dalamnya memainkan peran secara aktif. Dalam interaksi juga lebih dari sekedar terjadi hubungan antara pihak- pihak yang terlibat melainkan terjadi saling mempengaruhi. Syarat Terjadinya Interaksi Sosial Syarat terjadinya interaksi sosial terdiri atas kontak sosial dan komunikasi sosial. Kontak sosial tidak hanya dengan bersentuhan fisik. Dengan perkembangan tehnologi manusia dapat berhubungan tanpa bersentuhan, misalnya melalui telepon, telegrap dan lain-lain. Komunikasi dapat diartikan jika seseorang dapat memberi arti pada perilaku orang lain atau perasaan-perasaan yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Sumber-Sumber Interaksi Sosial Proses interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat bersumber dari faktor imitasi, sugesti, simpati, identifikasi dan empati. Imitasi merupakan suatu tindakan sosial seseorang untuk meniru sikap, tindakan, atau tingkah laku dan penampilan fisik seseorang. Sugesti merupakan rangsangan, pengaruh, atau stimulus yang diberikan seseorang kepada orang lain sehingga ia melaksanakan apa yang disugestikan tanpa berfikir rasional. Simpati merupakan suatu sikap seseorang yang merasa tertarik kepada orang lain karena penampilan,kebijaksanaan atau pola pikirnya sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh orang yang menaruh simpati. Identifikasi merupakan keinginan sama atau identik bahkan serupa dengan orang lain yang ditiru (idolanya) Empati merupakan proses ikut serta merasakan sesuatu yang dialami oleh orang lain. Proses empati biasanya ikut serta merasakan penderitaan orang lain. Jika proses interaksi sosial tidak terjadi secara maksimal akan menyebabkan terjadinya kehidupan yang terasing. Faktor yang menyebabkan kehidupan terasing misalnya sengaja dikucilkan dari lingkungannya, mengalami cacat, pengaruh perbedaan ras dan perbedaan budaya. Demikian ulasan tentang interaksi sosial, baik pengertian interaksi sosial, sumber interaksi sosial, dan syarat interaksi sosial, mudah-mudahan dapat membantu.

Problematika Sosial

Setiap manusia terlahir suci dan bersih. Masa pertumbuhannya (tumbuh kembang) akan dipengaruhi oleh lingkungannya baik internal maupun eksternal. Lingkungan internal mencakup kedua orang tua dan anggota keluarga lainnya. Sedangkan lingkungan eksternal mencakup masyarakat secara umum. Disamping itu, lingkungan eksternal juga mencakup lingkungan pendidikan formal. Seorang anak yang tadinya sucu dan bersih, akan tetap terjaga kesucian dan kebersihannya apabila didukung oleh pondasi dan kekuatan aqidah. Pondasi dan kekuatan aqidah anak, insya Allah, akan kuat bila ditanam dan dipupuk serta dirawat sejak dini. Sebaliknya, aqidah anak akan menjadi lemah apabila benih aqidahnya tidak ditanam, dipupuk dan dirawat dengan baik. Rasulullah SAW mengingatkan dalam sabdanya, "Setiap anak Adam akan menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi tergantung pada kedua orang tuanya." Apabila kedua orang tuanya, mampu memberikan pendidikan terbaik bagi anaknya, insya Allah akan meraih kenikmatan atas benih yang telah ditanam, dipupuk, dan dirawatnya itu. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Bila seorang anak Adam meninggal, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga hal. Shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan dan anal shaleh yang senantiasa mendo'akan kedua orang tuanya." Keshalehan individu dan keluarga, selanjutnya akan menjadi benih guna terwujudnya keshalehan komunitas. Dengan demikian hubungan antar individu, keluarga dan masyarakat menjadi sangat kondusif. Apabila masyarakat sudah ditopang dengan ketiga pilar tersebut (keshalehan individu, keluarga, dan komunitas), insya Allah, problema sosial masyarakat yang selama ini seringkali melingkupi masyarakat, mudah-mudahan tidak terjadi lagi. Kasus-kasus ketergantungan terhadap narkoba yang banyak 'menjangkiti' para pemuda-pemudi bahkan orang tua, akan dapat diminimalisir dengan makin kuatnya benteng keshalehan komunitas. Penjambretan pada angkutan kota juga tidak bakal terjadi bila sinergi antara para sopir, kenek, dan para penumpang berjalan baik. Orangpun tidak akan berani melakukan tindak kriminal bila pertahanan komunitas berjalan baik. Seringkali, kasus-kasus kriminalitas terjadi disebabkan karena tidak adanya kepedulian antar individu, antar keluarga, dan antar komunitas masyarakat. Sehingga para pelaku tindak kriminal menjadi berani berbuat naif. Padahal, bila individu-individu lainnya peduli, para pelaku akan ketakutan, lari dan jera. Guna menghadapi persoalan di atas, Allah telah memberikan pedoman dengan menyuruh manusia untuk bekerja. "Dan katakanlah: bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitahukan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS. At-Taubah: 105) Jadi nyatalah bagi kita bahwa keshalehan individu dan keluarga dengan ditopang kekuatan aqidah dan kerja keras akan melahirkan masyarakat yang aman, tentram, sejahtera, lahir dan bathin.

SOSIAL DAN BUDAYA

SOSIAL Sosial diartikan sebagai segala bentuk aktivitas atau hubungan antara manusia dalam dinamika kehidupannya, baik individu ataupun kelompok. Aktivitas tersebut berupa sebuah interaksi orang-orang di dalam kehidupan bermasyarakat baik individu ataupun kelompok. Hal ini, sering juga disebut dengan interaksi sosial. Interaksi sosial ini didasari dan terus diarahkan pada nilai-nilai kebersamaan, norma-norma yaitu standar tingkah laku yang mengatur interaksi antar individu yang menunjukkan hak dan kewajiban tiap-tiap individu sebagai sarana penting untuk mencapai tujuan bersama. Norma-norma tersebut melahirkan sebuah sanksi sosial, baik sanksi negatif maupun sanksi positif. Sanksi negatif berartikan suatu hukuman terhadap siapa saja yang melanggar norma-norma tersebut. Sedangkan, sanksi positif merupakan suatu penghargaan terhadap siapa saja yang telah mentaati norma-norma tersebut. Dasar dan arah umum interaksi inlah yang sering disebut sebagai kultur. Kecuali itu, interaksi antar individu juga diantur sesuai dengan tujuan-tujuan khusus interaksi itu. Interaksi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan keakraban diatur dalam institusi keluarga. Interaksi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup diatur dalam institusi ekonomi. Interaksi orang dalam hubungannya dengan Illahi diatur dalam institusi agama. Sedangkan, agar keseluruhan interaksi dalam masyarakat umumnya bisa terjamin dan pasti diadakan diatur dalam institusi politik. Institusi-institusi ini saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Bagaimana kadar saling hubungan dan saling mempengaruhi, serta mana institusi yang paling berpengaruh harus dilihat langsung dalam masyarakat yang ada. Perlu diingat, bahwa dalam setiap institusi juga ada nilai-nilai, norma-norma dan sanksi-sanksi, karena tujuan institusi memang untuk mengatur interaksi. Keseluruhan institusi memang untuk mengatur interaksi. Keseluruhan institusi serta saling berhubungan satu sama lain, itulah yang disebut dengan stuktur sosial. Kata stuktur menunjukkan saling adanya hubungan antara bagian keseluruhan. Stuktur sosial merupakan interaksi manusia yang sudah berpola dalam institusi ekonomi, politik, agama, keluarga, budaya. Dengan kata lain, struktur sosial adalah seluruh aturan permainan masyarakat dalam berinteraksi atau suatu pengorganisasian di dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya, perlu juga dimengerti perpindahan antara keadilan personal dan keadilan sosial. Dalam keadilan personal sering mudah diketahui siapa yang bertanggung jawab. Sebagai contoh kecilnya, si pembeli membeli barang dengan kualitas tertentu, ternyata dia mendapat barang dengan kualitas rendah. Penjual barang tersebut jelas langsung bisa dimintai pertanggungjawabannya. Jelaslah mengenai keadilan personal, pelaksanaannya tergantung pada kehendak individu yang bersangkutan. Keadilan personal menuntut agar kita memperlakukan setiap orang yang kita hadapi dengan adil. Sebaliknya, mengenai ketidakadilan sosial tanggung jawab atas perbuatan dan efek perbuatan menjadi tanggung jawab semua orang. Tidak bisa kita menunjuk satu orang untuk bertanggung jawab sebagaimana pada ketidakadilan personal. Pelaksanaan keadilan sosial tergantung pada struktur masyarakat. Karena tergantungnya pada stuktur masyarakat maka, tanggung jawab ketidakadilan sosial menjadi tanggung jawab semua pihak. Hal ini diperjelas dengan seringnya individu dalam masyarakat yang tidak bisa bersikap adil meski dia sudah insaf. Namun, karena struktur sosiallah yang menbuat dia tidak bisa bersikap adil. Umpamanya seorang pengusaha tekstil tidak dapat menaikkan upah buruh-buruhnya karena perdagangan tekstil sedemikian rupa sehingga kalau dia menaikkan upah buruh-buruhnya perusahaan akan gulung tikar. Dengan kata lain, institusi ekonomi yang ada menyebabkan upah buruh tetap rendah. Kalau pelaksanaan keadilan sosial tergantung pada struktur sosial yang ada, maka perjuangan demi keadilan sosial berarti perjuangan membangun struktur sosial yang semakin adil. Ada beberapa hal penting yang ditimbulkan oleh segala bentuk pengorganisasian di dalam kehidupan masyarakat yakni kelas sosial. Kelas sosial adalah pengelompokan yang ada dalam masyarakat. Namum ada pengelompokan masyarakat yang tidak berdasarkan kelas. Pengelompokan itu, misalnya berdasarkan jenis kelamin, ras, kebangsaan, pekerjaan dan sebagainya. Beberapa di antara pengelompokan itu ada yang didasarkan atas penggolongan fisik (usia, jenis kalamin, ras), dan ada juga penggolongan yang bersifat sosial (kebangsaan, pekerjaan). Pembedaan-pembedaan tersebut, dilihat dari segi politik, sebenarnya tidak dengan sendirinya menyebabkan perbedaan-perbedaan sosial, dan hanya di bawah kondisi-kondisi sosial tertentu saja, maka pembedaan tersebut bisa dikaitkan dengan ketimpangan sosial. Alhasil, ketimpangan yang didasarkan pada ras sesungguhnya lebih bersifat historis/menyejarah ketimbang alami. Pengelompokan rasial sendiri merupakan kategori sosial, bukan kategori biologis. Pengelompokan berdasarkan ras muncul karena ada praktek sosial kapitalisme yang memuja-muja perbedaan fisik manusia (biasanya merupakan perbedaan warna kulit), yang menganggap bahwa unggul dan rendahnya nilai-nilai sosial itu berasal dari perbedaan-perbedaan fisik tersebut. Akibatnya, muncul pembenaran terhadapnya; juga misalnya ketimpangan sosial berdasarkan jenis kelamin, yang sebenarnya lebih disebabkan oleh fakta-fakta historis/kesejarahan ketimbang fakta-fakta alam. Pada tahap awal perkembangan sejarah, yakni selama sistem komunal primitif, kaum perempuan memainkan peranan penting/pimpinan di tengah masyarakat. Namun peran kepemimpinan itu lambat laun pudar seiring dengan terbagi-baginya masyarakat ke dalam unit-unit keluarga yang dipisahkan satu sama lain berdasarkan pemilikan pribadi. Di antara berbagai pengelompokan sosial yang ada, pengelompokan yang paling utama dan jelas adalah pengelompokan berbasis kelas. Pertama, kelas-kelas itu tumbuh dari fondasi-fondasi masyarakat yang paling mendasar, yaitu dari relasi masyarakat/ manusia dengan alat-alat produksi yang menentukan relasi-relasi lainnya. Kedua, kelas merupakan pengelompokan sosial yang paling kuat dan paling banyak keanggotaannya di tengah masyarakat, yang relasi-relasi serta perjuangannya sangat mempengaruhi jalannya seluruh sejarah kehidupan sosial, politik dan ideologi masyarakat. BUDAYA Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu merupakan hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Sedangkan, kebudayaan adalah keseluruhan suatu sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam ruang lingkup hidup bermasyarakat yang dijadikan kepemilikan manusia dengan berbagai macam pembelajarannya. Kebudayaan merupakan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat pengetahuan yang secara kolektif digunakan oleh pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai pedoman untuk bertindak sesuai dengan lingkungan yang dihadapi. Adapun secara umum, wujud dari kebudayaan terdiri dari tiga wujud, yakni: 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Wujud ini disebut dengan sistem budaya. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud ini juga disebut dengan sistem budaya. 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Sedangkan, wujud yang terakhir kebudayaan disebut kebudayaan fisik. Secara empirik, ketiga wujud kebudayaan tersebut menjadi suatu kesatuan yang integral. Wujud satu mempengaruhi wujud yang lain dalam proses kehidupan masyarakat. Kebudayaan ideal (adat istiadat) mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan karya. Atas dasar gagasan yang diimplementasikan dalam tindakan (aktivitas) maka tercipta kebudayaan fisik. Sebaliknya, kebudayaan fisik akan membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga mempengaruhi pola-pola perbuatannya, bahkan juga cara berpikirnya. Sedangkan unsur-unsur kebudayaan terdiri dari tujuh unsur, yaitu: 1. Bahasa 2. Sistem pengetahuan 3. Organisasi sosial 4. Sistem peralatan hidup dan teknologi 5. Sistem mata pencaharian hidup 6. Sistem religi 7. Kesenian Oleh karena, ketujuh unsur kebudayaan ini dapat ditemukan disemua kebudayaan dari semua suku bangsa di manapun di dunia, baik suku yang bersahaja maupun suku bangsa yang besar dan kompleks maka disebut dengan unsur-unsur kebudayaan universal (Cultural Universal). Setiap unsur-unsur kebudayaan universal menjelma dalam ketiga wujud kebudayaan (sistem budaya, sistem sosial dan kebudayaan fisik). Setiap sosial budaya di manapun akan mengalami perkembangan seiring dengan dinamika dari masyarakat pendukung kebudayaan bersangkutan. Perkembangan tidak selalu memiliki konotasi kemajuan (progress), namun juga dapat berarti kemunduran (regress) tergantung masyarakat itu sendiri. Secara tidak langsung menghasilkan keragaman sosial budaya. Timbulnya keanekaragaman disebabkan oleh pengalaman dan hasil pengalaman manusia terikat oleh faktor ruang dan waktu, dipengaruhi oleh perkembangan sejarah, faktor geografis dan dipengaruhi periode waktu yang berbeda.

Selasa, 29 Mei 2012

Resensi Metode Pendidikan Marxis-Sosialis

Dalam banyak hal, Karl Marx lebih dipersonifikasikan sebagai tokoh ekonomi-politik serta pejuang kaum buruh. Selama ini, kajian-kajian ilmiah hanya menyoroti teori “sejarah pertentangan kelas antara kaum borjuis dan proletar” yang merupakan titik pijak pemikiran Marx. Jarang kita menjumpai diskursus yang menyandingkan pemikiran Marx dengan dunia pendidikan. Padahal, sebagaimana diungkap dalam buku ”Metode Pendidikan Marxis- Sosialis” ini, Karl Marx bukan hanya pemikir ekonomi-politik, tapi juga seorang pemikir pendidikan kenamaan. Bahkan, menurut Nurani Soyomukti, penulis karya ini, Marx adalah plopor dan peletak teori pendidikan kritis dan pembebasan, bukan Paulo Freire sebagaimana diyakini banyak kalangan. Dalam konteks pendidikan, Marx meramalkan “basis dari gerak sejarah sistem pendidikan dunia ditentukan oleh basis kapital (ekonomi)”. Teori ini disebut dengan “diteminisme ekonomi”. Tampaknya, ramalan Marx itu memiliki makna relevansi dalam dunia pendidikan, khususnya di Indonesia. Buktinya, regulasi kebijakan pendidikan pemerintah, dalam hal ini Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), tidak lain merupakan penjelmaan penselingkuhan antara dunia pendidikan dengan kepentingan kapital. UU BHP membuka akses selebar-lebarnya atas bercokolnya praktek kapitalisme (komersialisasi) ditubuh pendidikan. Lembaga pendidikan saat ini sudah tidak lagi menjadi media transformasi nilai dan instrumen memanusiakan manusia (humanisasi), melainkan menjadi lahan basah bagi para pengelola pendidikan untuk mengeruk keuntungan finansial sebanyak-sebanyaknya. Status birokrat kampus, Rektor dan staf-stafnya, tidak ubahnya investor yang hanya memikirkan bagaimana kampus mendapatkan laba sebesar-besar dari peserta didik. Institusi pendidikan hari ini tidak jauh beda dengan pasar. Bedanya, kalau pasar menjual bahan sembako domistik dan kebutuhan rumah tangga yang lain, sementara perguruan tinggi menjual jasa pendidikan. Mulai dari tenaga pengajar (Dosen), mata kuliah (SKS), sampai fasilitas-fasilitas kampus yang serba glamur dan seper canggih. Kampus akan melakukan apa saja, termasuk memper-“solek” lingkungan demi merekrut peserta didik sebanyak-banyaknya. Karena, semakin banyak kuantitas peserta didik, semakin besar penghasilan kampus. Dalam kondisi seperti ini, lembaga pendidikan layaknya korporasi (konglemarasi) yang hanya memikirkan profit oriented. Tidak heran, kalau makin hari biaya lembaga pendidikan kian melonjak. Di era modern, mustahil menemukan biaya pendidikan yang bisa dijangkau orang menengah kebawah (miskin). Semakin bagus fasilitas kampus, semakin besar uang yang mesti dikeluarkan peserta didik. Padahal, mayoritas penduduk Indonesia barada dibawah garis kemiskinan. Inilah yang disebut “Pendidikan Rusak-Rusakan” dalam kacamata Darmaningtyas. Secara historis, bibit kapiatalisme dan pragmatisme pendidikan di Indonesia sudah menyeruak pada zaman Soeharto (Orde Baru). Ketika itu, yang menjadi panglima (ideologi) pendidikan adalah “pembangunan” (developmentalisme). Pertumbuhan pembangunan dikejar habis-habisan tanpa memedulikan aspek kemanusiaan. Tak pelak, Identitas lembaga pendidikan pun sebagai media memanusiakan manusia dan penjaga gawang terakhir atas munculnya kaum-kaum terdidik dan bermoral terpasung. Munculnya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), baik yang konsen di dunia mesin, listrik, arsitektur, administrasi perkantoran, akuntansi, kesekretariatan dan berbagai bidang lainnya merupakan pemenuhan atas nafsu kapitalisme dan pragmatisme itu. Kehadiran SMK diharapakan meluluskan peserta didik yang siap pakai dan sesuai dengan kebutuhan praktis di bidang kerja-kerja infrastruktur pembanguanan, baik sebagai pekerja industri maupun administrator

Metode Pendidikan Karl Marx

Selama ini, Karl Marx lebih dikenal sebagai pemikir ekonomi- politik dari pada pemikir pendidikan. Buktinya,sampai saat ini, jarang dijumpai diskursus yang menyandingkan Marx dengan dunia pendidikan. Padahal, sebagaimana diungkap dalam buku Metode Pendidikan Marxis- Sosialis ini, Marx bukan hanya pemikir ekonomi-politik, tapi juga seorang pemikir pendidikan terkemuka.Bahkan,menurut Nurani Soyomukti, penulis buku ini,Marx adalah pelopor dan peletak dasar teori pendidikan kritis dan pembebasan, bukan Paulo Freire sebagaimana diyakini banyak kalangan. Dalam konteks pendidikan, Marx menyingkapkan bahwa basis dari gerak sejarah sistem pendidikan dunia ditentukan oleh kapital (ekonomi). Teori ini disebut dengan determinisme ekonomi. Tampaknya,ramalan Marx itu benar, khususnya di Indonesia. Buktinya, regulasi kebijakan pendidikan pemerintah, dalam hal ini Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), tidak lain me-rupakan penjelmaan perselingkuhan antara dunia pendidikan dengan kepentingan kapital. UU BHP membuka akses bagi praktek kapitalisme di bidang pendidikan. Lembaga pendidikan saat ini tidak lagi menjadi media transformasi nilai dan instrumen memanusiakan manusia, melainkan menjadi lahan basah bagi para pengelola pendidikan untuk mengeruk keuntungan finansial. Status birokrat kampus -Rektor dan para stafnya- tidak ubahnya investor yang hanya memikirkan bagaimana kampus bias mendapatkan laba sebesarbesarnya dari peserta didik. Institusi pendidikan saat ini tidak jauh beda dengan pasar. Bedanya,kalau pasar menjual bahan sembako domestik dan kebutuhan rumah tangga yang lain, maka perguruan tinggi menjual jasa pendidikan. Mulai dari tenaga pengajar (dosen), mata kuliah (SKS), sampai fasilitas-fasilitas kampus yang seper canggih.Dalam kondisi seperti ini, lembaga pendidikan layaknya korporasi yang hanya memikirkan profit. Tidak heran,kalau makin hari biaya lembagapendidikankian melonjak. Di era modern, mustahil menemukan biaya pendidikan yang bisa dijangkau orang menengah ke bawah. Semakin canggih dan lengkap fasilitas kampus, semakin besar uang yang mesti dikeluarkan peserta didik. Secara historis, bibit kapitalisme dan pragmatisme pendidikan di Indonesia sudah menyeruak pada zaman Soeharto. Ketika itu, yang menjadi panglima adalah pembangunan.Pertumbuhan ekonomi pada rezim Orde Baru dikejar habis-habisan tanpa memedulikan aspek kemanusiaan. Tak pelak, lembaga pendidikan sebagai media memanusiakan manusia dan penjaga gawang terakhir atas munculnya kaum-kaum terdidik dan bermoral terpasung. Munculnya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), baik yang berkonsentrasi di dunia mesin, listrik, arsitektur, administrasi perkantoran,akuntansi, kesekretariatan maupun berbagai bidang lain,merupakan pemenuhan atas nafsu kapitalisme. Kehadiran SMK diharapkan meluluskan peserta didik yang siap pakai dan sesuai dengan kebutuhan praktis di bidang kerja infrastruktur pembangunan. Sekolah kejuruan menjadi idaman dan pilihan para orangtua yang ingin yang ingin melihat anaknya cepat mendapat kerja. Penekanan keterampilan teknis seperti ini menyebabkan pendidikan terjerumus dalam pragmatisme. Pragmatisme pendidikan adalah malapetaka besar bagi masa depan kemanusiaan. Sebab, pragmatisme pendidikan akan melahirkan manusiamanusia yang tidak peka terhadapbobroknya realitaskebangsaan. Pragmatisme pendidikan hanya mencetak generasi yang ingin cepat mendapatkan gelar sarjanadanmemperolehprofesi yang bergengsi. Buku ini berusaha menggagas dan menjabarkan metode pendidikan berbasis Marxis- Sosialis yang menjadi counterpart atas pendidikan kapitalisme yang selama ini menjadi ideologi sistem pendidikan internasional. Ideologi pendidikan yang digagas Marx adalah bentuk gugatan atas merasuknya budaya kapitalisme dan pragmatisme dalam tubuh pendidikan. Dalam pendidikan berbasis Marxis-Sosialis, tujuan (ideologi) pendidikan adalah membangun karakter (character building) manusia yang tercerahkan; suatu kondisi mental yang dibutuhkan untuk membangun suatu masyarakat yang berkarakter progresif, egaliter, demokratis, berkeadilan dan berpihak terhadap kaum-kaum tertindas (the oppressed). Menurut Marx,pendidikan bukan lahan basah untuk merenggut keuntungan, melainkan sebagai instrumen membebaskan manusia dari belenggu dehumanisasi serta menempatkan manusia dalam esensi dan martabat kemanusiaannya yang sejati. Marx mengidealkan terciptanya pendidikan kritis (critical pedagogy), pendidikan radikal(radical education) dan pendidikan revolusioner (revolutionary education) yang pada gilirannya mampumencetakmanusia yang betul-betul mau memperjuangkan kaum-kaum miskin. Pendidikan yang terjebak pada pragmatisme untuk kepentingan kapitalisme merupakan eksploitasi atas esensi terbentuknya lembaga pendidikan. Bagi Marx, pendidikan bertujuan menciptakan kesadaran kritis,bukan pengetahuan dan keterampilan teknis yang mendukung proyek kapitalisme. Apa yang diidealkan Marx itu sangat kontras dengan karakter objektif para pelajar bangsa ini.Tidak bisa dibantah, 75 % orientasi pelajar menuntut ilmu adalah untuk mendapatkan kerja bergengsi (profesi),menjadi tokoh populer, menjadi orang kaya, dan untuk mengangkat status sosialnya.