Label

Rabu, 10 Oktober 2012

Saatnya Tinggalkan Pola Usang demi Kemajuan

Hidup tidak dapat dilepaskan dari pendidikan. Sebab, manusia diciptakan bukan hanya untuk hidup.Adatujuan yang lebih mulia dari sekadar hidup yang harus diwujudkan. Hal itu memerlukan ilmu yang diperoleh dari pendidikan. Bila hidup sangat berkaitan dengan pendidikan, faktor penting -bahkan penentu hitam putihnya pendidikan– adalah guru (Izzudin Karimi: 2005). Benar! Guru bukanlah satu-satunya instrumen pendidikan. Masih ada buku, kurikulum, peletak kurikulum, pembuat kebijakan pendidikan, dan seterusnya. Namun, di antara sederet instrumen itu, guru adalah ujung tombak. Ibarat satu kesebelasan sepak bola, striker memegang peran sentral untuk mencapai tujuan, yaitu mencetak gol. Jika striker mandul, hal itu akan memengaruhi performa dan hasil akhir pertandingan. Bila guru ”mandul”, hasil pendidikan akan rendah. Maka, tak salah jika muncul ungkapan ”Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.” Tak ayal, perhatian guru dalam dunia pendidikan adalah prioritas. Pahlawan tanpa tanda jasa itu memikul tugas dan tanggung jawab yang tidak ringan. ***** Krisis multidimensi di negeri ini, mau tak mau, membuka mata kita terhadap mutu pendidikan Indonesia. Demikian pula halnya dengan sumber daya manusia hasil pendidikan di nusantara ini. Memang, penyebab krisis tersebut begitu kompleks. Namun, tak dimungkiri bahwa penyebab utamanya adalah sumber daya manusia itu sendiri yang kurang bermutu. Jangankan bicara profesionalisme, terkadang sikap manusia Indonesia yang paling merisaukan adalah seringnya bertindak tanpa moralitas. Maka, di sinilah pentingnya peran seorang guru dalam membentuk sumber daya manusia yang berwawasan dan berkualitas. Seperti perkembangan zaman dan majunya teknologi, guru pun dituntut untuk selalu meng-update inovasi dan kreativitasnya. Tidak mungkin guru sekarang hanya mengandalkan pengalaman serta kemampuan mengajar saja. Harus diakui, perkembangan pendidikan di Amerika, Jepang, dan negara-negara lain di Asia dan Eropa hampir merata. Sebab, anggaran yang dialokasikan ke pendidikan besar dan berjalan lancar. Sebesar 65 persen penduduk Indonesia berpendidikan SD, bahkan tidak tamat. Selain itu, kualitas pendidikan di negara ini pun dinilai masih rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Tak heran jika Indonesia hanya menempati urutan ke-102 di antara 107 negara di dunia dan urutan ke-41 di antara 47 negara di Asia. Di antara satu juta penduduk di Amerika, 6.500 orang bergelar S-3 (doktor), Israel 16.500, Prancis 5.000, Jerman 4.000, dan India 1.300 orang. Semua itu hasil dari pendidikan yang bermutu. Negara Asia lainnya seperti Korea Selatan juga memberikan prioritas untuk kemajuan pendidikan. Pengadaan sandang, pangan, dan papan perlu, tapi pembangunan pendidikan jangan sampai dianaktirikan. Kemajuan sebuah negara sangat ditentukan tingkat pendidikan sumber daya manusianya. Contoh lainnya, pada 1970-an Malaysia masih mengimpor tenaga pengajar dari Indonesia. Kini, pendidikan di Malaysia jauh di atas Indonesia. Mengapa? Sebab, pemerintahnya memberikan perhatian yang sangat serius. Tidak seperti di Indonesia, pendidikan belum begitu disentuh secara menyeluruh, apalagi membentuk wadah menjembatani aspirasi dan suara guru. Harus diakui bahwa lulusan dari lembaga pendidikan di Indonesia kurang relevan dengan kebutuhan tenaga yang diperlukan sehingga hasilnya kurang efektif dan mendorong terjadinya pengangguran intelektual. Masalah tersebut masih ditambah dengan minimnya fasilitas pendidikan yang memadai dan tenaga pengajar yang berkualitas pula. Karena itu, harus ada perubahan! Satria Dharma, tokoh dan pengamat pendidikan dari Balikpapan, Kalimantan Timur, menegaskan bahwa guru memegang peran yang amat penting sebagai pemimpin perubahan. Gurulah yang mampu menggerakkan bangsa ini untuk maju, dalam hal ini mendidik dan melahirkan generasi berkualitas dan berprestasi. Dari situlah, tercetus ide dari Satria tentang pembentukan Indonesian Teachers Club atau cikal bakal Klub Guru Indonesia, yang mampu menampung aspirasi dan inovasi para guru dengan satu kata: sinergi! Buku ini ibarat sebuah museum pendidikan yang amat berharga. Pandangan-pandangan dan kritik membangun terhadap wajah pendidikan di negeri ini, terutama menyoal keguruan di Indonesia, terlalu sayang bila hanya dilihat sekilas saja. Ulasan ringan, segar, dan bisa seiring dengan perkembangan zaman. Itulah yang saya cerna dari tulisan-tulisan Satria Dharma, Indra Djati Sidi, dan Ahmad Rizali dalam buku ini. **** Dalam salah satu ulasan, Ahmad Rizali mencoba mengungkapkan realita bahwa guru kebanyakan adalah guru yang selalu ingin muridnya langsung benar. Proses belajar adalah proses berbuat kesalahan dan memperbaiki, salah kembali dan diperbaiki kembali. Jika tak pernah melakukan kesalahan, kapan sang murid mengetahui dan menghayati kebenaran? Rizali menambahkan, guru saat ini adalah mereka yang mendorong muridnya menjalankan keinginan dan impian gurunya, impian kepala sekolah , bahkan impian wali kota. Sehingga, murid dipaksa untuk “mengisi” cetakan yang dibuat gurunya, bukan mengajak dan membimbing muridnya membuat cetakan yang diinginkan oleh murid (hal 73). Dasar agenda pendidikan ke depan masih panjang. Meliputi pembahasan kurikulum, pembaruan dalam proses pembelajaran, pembenahan manajemen pendidikan nasional, pembenahan pengelolaan guru, dan mencari serta mengembangkan berbagai sumber alternatif pembiayaan pendidikan. Pesan sederhana yang disampaikan Satria Dharma, Ahmad Rizali, dan Indra Djati Sidi dalam buku ini adalah ajakan kepada seluruh komponen pendidikan, khususnya guru, untuk mau mengembangkan diri dan meninggalkan pola usang demi kemajuan pendidikan itu sendiri. Yakni, dari konvesional menuju profesional. Buku ini tidak melulu mengupas tentang guru. Beberapa masalah pendidikan pun diungkapkan dengan bahasa otokritik yang halus. Mulai masalah sekolah menengah kejuruan, ujian akhir nasional (unas), membaca, hingga sekolah bertaraf internasional. Semuanya disajikan dalam paparan yang ringan dan baik. Tentu saja, tujuannya untuk membangun dan membangkitkan semangat para pendidik di negeri ini. Buku ini sangat pantas dan perlu dibaca oleh semua kalangan, terutama bagi mereka yang peduli terhadap pendidikan. BARUDAK BARACA TAH BUKU : "Dari Guru Konvensional Menuju Guru Profesional" Saatnya Tinggalkan Pola Usang demi Kemajuan