Label

Kamis, 24 Januari 2013

MENGELOLA KONFLIK ANTAR KELOMPOK DALAM ORGANISASI

Setiap individu dengan segala kelebihan dan keterbatasan yang melekat di dalamnya memiliki sejumlah kebutuhan dan tujuan. Untuk mewujudkan kebutuhan dan tujuan yang diinginkan tidak jarang membutuhkan bantuan dan kerja sama dengan individu lain, sehingga terbentuklah kelompok. Dalam perkembangan selanjutnya beberapa kelompok membentuk kelompok yang lebih besar dan dikenal dengan sebutan organisasi. Setiap individu diyakini memiliki potensi konflik. Dengan demikian salah satu karakteristik yang menonjol dari suatu kelompok adalah sering munculnya konflik antar individu dalam kelompok tersebut, dan pada tahapan berikutnya bisa memicu munculnya konflik dengan kelompok lain dan konflik antar kelompok dalam organisasi. Beberapa literatur menyebutkan makna konflik sebagai suatu perbedaan pendapat di antara dua atau lebih anggota atau kelompok dan organisasi, yang muncul dari kenyataan bahwa mereka harus membagi sumber daya yang langka atau aktivitas kerja dan mereka mempunyai status, tujuan, nilai, atau pandangan yang berbeda, dimana masing-masing pihak berupaya untuk memenangkan kepentingan atau pandangannya. Sedangkan menurut Brown (1998), konflik merupakan bentuk interaksi perbedaan kepentingan, persepsi, dan pilihan. Wujudnya bisa berupa ketidaksetujuan kecil sampai ke perkelahian. Dalam sebuah organisasi, terlalu banyak atau terlalu sedikit konflik akan merugikan bagi organisasi tersebut. Konflik yang terlalu banyak akan menimbulkan perasaan negatif yang kuat, mengabaikan saling ketergantungan, dan eskalasi tindakan agresif yang tidak terkontrol, serta tindakan balasan. Sedangkan terlalu sedikitnya konflik akan menghilangkan informasi kritis bagi keharmonisan atau pengembangan organisasi lebih lanjut. Tugas dari manajer adalah mengelola konflik agar tercapai level yang sedang atau moderat agar bisa memberikan energi yang besar, keterlibatan yang tinggi, pertukaran informasi, dan pengambilan keputusan yang lebih baik. Menurut pandangan modern, konflik merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam organisasi. Konflik antar kelompok dapat menjadi kekuatan positif dan negatif bagi pencapaian tujuan oganisasi. Manajemen tidak perlu berjuang untuk menghilangkan setiap konflik yang terjadi, tetapi konflik yang bersifat negatif dan menimbulkan dampak/gangguan terhadap pencapaian tujuan organisasi harus diminimumkan. Tetapi isu yang paling mendasar dan terpenting bukanlah pada makna dari konflik itu sendiri tetapi bagaimana cara mengelola konflik agar membantu efektifitas organisasi. Pandangan Terhadap Konflik Konflik dapat dipandang dari dua sudut pandang, yaitu pandangan tradisional maupun pandangan kontemporer (Myers : 1993) atau pandangan manajemen tradisional maupun manajemen modern (Anderson : 1988). Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Organisasi yang baik adalah organisasi tanpa konflik. Pandangan ini juga melihat bahwa konflik terjadi akibat kesalahan manajemen, misalnya kesenjangan saling percaya dan intensitas komunikasi antar kelompok yang rendah. Sebaliknya menurut pandangan modern, konflik adalah sesuatu yang tidak bias dihindari sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Permasalahannya, bukan bagaimana menghilangkan konflik, tetapi bagaimana menangani konflik agar tidak merusak hubungan antar pribadi/kelompok dan tujuan organisasi. Konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja organisasi jika memang dikelola dengan baik. Organisasi yang baik justru di dalamnya ada konflik-konflik yang dapat mendorong/ merangsang pekerja untuk meraih prestasi yang lebih baik. Umstot (1984) memandang konflik dari perspektif lain, yaitu dilihat dari latar belakang munculnya konflik. Dia menyebutkan bahwa terdapat dua tipe utama konflik, yaitu konflik yang bersifat substantif dan konflik yang bersifat emosional. Konflik substantif adalah pertentangan yang terjadi karena ketidakpuasan terhadap kebijakan, praktek manajerial, pertentangan peran dan tanggung jawab. Sedangkan konflik emosional terjadi karena rasa takut, penolakan, kemarahan, dan ketidak-percayaan. Lebih lanjut menurut Umstot (1984), biasanya konflik substantif muncul terlebih dahulu disbanding konflik emosional atau konflik substantive dianggap sebagai pemicu munculnya konflik emosional. Bentuk dan Proses Konflik Menurut Myer (1992), terdapat tiga bentuk konflik dalam organisasi, yaitu : 1) konflik 22 USAHAWAN NO. 09 TH XXIX SEPTEMBER 2000 pribadi, merupakan konflik yang terjadi dalam diri setiap individu karena pertentangan antara apa yang menjadi harapan dan keinginannya dengan apa yang dia hadapi atau dia perolah, 2) konflik antar pribadi, merupakan konflik yang terjadi antara individu yang satu dengan individu yang lain, dan 3) konflik organisasi, merupakan konflik perilaku antara kelompok-kelompok dalam organisasi dimana anggota kelompok menunjukkan “keakuan kelompoknya” dan membandingkan dengan kelompok lain, dan mereka menganggap bahwa kelompok lain menghalangi pencapaian tujuan atau harapan-harapannya.Konflik dalam organisasi biasanya terbentuk dari rangkaian konflik-konflik sebelumnya. Konflik kecil yang muncul dan diabaikan oleh manajemen merupakan potensi munculnya konflik yang lebih besar dan melibatkan kelompokkelompok dalam organisasi. Umstot (1984) menyatakan bahwa proses konflik sebagai sebuah siklus yang melibatkan elemen-elemen : 1) elemen isu , 2) perilaku sebagai respon dari isu-isu yang muncul, 3) akibat-akibat, dan 4) peristiwa-peristiwa pemicu. Faktor-faktor yang bisa mendorong konflik adalah : 1) perubahan lingkungan eksternal, 2) perubahan ukuran perusahaan sebagai akibat tuntutan persaingan 3) perkembangan teknologi 4) pencapaian tujuan organisasi 5) struktur organisasi. Dampak Konflik Jika menganut pandangan modern, konflik tidak bisa dihindari. Bagi organisasi, yang penting adalah bagaimana mengelola konflik agar efektif bagi organisasi. Konflik bisa berdampak negatif, misalnya melemahnya hubungan antar pribadi, keterasingan, mudah marah/tersinggung, dan lain-lain. Pada level organisasi konflik membawa dampak negatif berupa pemborosan energi, menurunnya rasa saling percaya/ ketergantungan terhadap kelompok lain, kurangnya kerja sama antar kelompok, dan terganggunya pencapaian tujuan organisasi. Konflik jika dikelola dengan baik akan berdampak positif dan konstruktif bagi organisasi (Kreps: 1982), yaitu : 1) sebagai tanda peringatan dini terhadap masalah yang muncul, 2) sebagai katub pengaman, 3) meningkatkan interaksi dan keterlibatan kelompok untuk berdiskusi menyelesaikan masalah yang timbul, 4) menumbuhkan kreativitas, 5) menjembatani penyelesaian masalah, 6) mendorong penyampaian informasi antar kelompok, dan 7) menguji ide-ide yang muncul dari anggota organisasi, dan solusi yang ditawarkan atas masalah yang terjadi. Jika konflik terjadi, kan uncul berbagai perubahan perilaku dalam kelompok, yaitu : 1) individu dalam suatu kelompok akan mengidentifikasi dirinya dengan kelompoknya dan menganggap seolah-olah dirinya terpisddah dari kelompok lain, 2) kehadiran kelompok lain akan mengundang perbandingan antara “kelompok kami” dengan “kelompok mereka”, 3) jika suatu kelompok terlibat konflik dengan kelompok lain, maka anggota kelompoknya akan cepat menyatu dengan anggota kelompoknya, 4) anggota suatu kelompok cenderung memandang kelompok lain sebagai rival, 5) anggota kelompok cenderung enonjolkan arogansi dan meremehkan kelebihan atau keberhasilan kelompok lain, 6) komunikasi antara kelompok yang berkonflik akan menurun bahkan tersumbat, 7) Kelompok yang berkonflik dengan kelompok lain akan cepat melempar kesalahan kepada kelompok lain, dan 8) konflik antar kelompok yang diikuti perubahan pada pesepsi dan permusuhan terjadi secara alamiah, dalam situasi normal (Daft : 1992). Persepsi Konflik Antar Kelompok Kualitas dan frekuensi interaksi antar pribadi anggota suatu kelompok bias mempengaruhi persepsi konflik antar kelompok, demikian juga konflik antar kelompok bisa mempengaruhi kualitas dan frekuensi antar pribadi. Labianca, et. al. (1998) mengatakan bahwa hubungan antar pribadi bukan sebagai penyebab utama persepsi antar kelompok atau persepsi antar kelompok sebagai penyebab utama hubungan atar pribadi, tetapi proses tersebut saling mempengaruhi. Terbentuknya hubungan antar pribadi individu- individu membentuk dan mengubah keseluruhan struktur social sebuah organisasi, sedangkan keseluruhan struktur sosial organisasi akan mempengaruhi hubungan antar pribadi. Forsyth (1990) dalam Labianca, et al. (1998) mengatakan ketika konflik meningkat, keeratan internal suatu kelompok cenderung meningkat, demikian pula pembedaan kelompok. Ketika konflik antar kelompok meningkat, anggota kelompok akan menekankan perbedaan antar kelompok, sehingga akan tumbuh bias, yaitu selalu memandang lebih kelompoknya dan memandang buruk kelemahan kelompok lain, anggotanya, prosedur, budaya dan produknya. Sehubungan hal tersebut, Labianca,et.al.(1998) telah melakukan penelitian mengenai hubungan antar pribadi dan antar kelompok dalam kaitannya dengan jaringan sosial untuk lebih memahami “geografi sosial” dimana persepsi antar kelompok terjadi. Keterkaitan Hubungan antar Pribadi dan Hubungan Langsung dengan Persepsi antar Kelompok Untuk melihat hubungan antar pribadi bisa dilihat dari dua perspektif, yaitu perspektif makro dan perspektif mikro. Dalam perspektif makro, hubungan antar kelompok dianggap sebagai faktor utama sebagai penyebab hubungan antar pribadi, sedangkan dalam perspektif mikro, hubungan antar pribadi menimbulkan persepsi konflik antar kelompok. Ada tiga hal yang perlu dikemukakan, yaitu 1) interaksi antar anggota kelompok menimbulkan sentimen positif dan bisa mengurangi konflik, 2) kontak antar kelompok bisa meningkatkan arus informasi yang bisa menghindarkan bias kelompok, polarisasi kelompok, dan konflik antar kelompok, 3) kontak antar kelompok memberikan saluran penyelesaian kembali perselisihan ketika konflik muncul. Hasil penelitian Labianca et.al (1998) menunjukkan bahwa persepsi antar kelompok akan menurunkan frekuensi interaksi antar anggota-anggota kelompok yang berkonflik. Konflik antar kelompok bisa meningkat dengan peningkatan frekuensi komunikasi antar kelompok. Sedangkan Teori Granovetter USAHAWAN NO. 09 TH XXIX SEPTEMBER 2000 23 (lihat dalam Labianca, et al.: 1998) menunjukkan bahwa hubungan seperti kenalan bisa menambah informasi, meskipun tidak ada jaminan bahwa informasi yang diterima memiliki hubungan positif atau negatif dengan persepsi konflik. Riset membuktikan bahwa hubungan negatif berdampak lebih besar dalam sikap, kognitif, respon psikologis, dan perilaku manusia dibanding kejadian yang bersifat positif atau netral. Persepsi individu tentang tingkat keseluruhan konflik kelompoknya dengan kelompok lain dipengaruhi oleh banyaknya hubungan negatif langsung antara individu dengan anggota kelompok lain. Hasil penelitian Labianca et.al (1998) juga membuktikan bahwa frekuensi komunikasi antar pribadi dengan anggota kelompok lain maupun banyaknya persahabatan dengan anggota kelompok lain berhubungan tidak signifikan dengan persepsi konflik antar kelompok. Sementara itu, individu yang terlibat secara pribadi dalam interaksi negative dengan anggota kelompok lain, mempersepsikan konflik yang lebih tinggi antara kelompoknya dengan kelompok lain. Namun, banyaknya hubungan teman dengan kelompok luar tidak berhubungan dengan persepsi konflik antar kelompok yang lebih rendah, sedangkan banyaknya kenalan dengan kelompok luar sangat berhubungan dengan persepsi konflik antar kelompok yang lebih tinggi. Keterkaitan Hubungan tidak Langsung dan Informasi Pihak Ketiga dengan Persepsi Konflik antar Kelompok Hubungan antar pribadi dalam suatu kelompok bisa mempengaruhi persepsi konflik antar kelompok, meskipun tidak terkait langsung dengan anggota kelompok luar. Menurut Teori Keseimbangan, semua anggota suatu kelompok akan membentuk pola yang sama. Bila seorang teman dalam kelompoknya memiliki hubungan positif dengan anggota kelompok lain, mereka beranggapan tidak ada konflik dengan kelompok lain, begitu juga sebaliknya. Implikasi dari Teori Keseimbangan adalah teman dalam satu kelompok cenderung melihat dunia dengan cara yang sama. Hubungan antara persahabatan dengan sikap akan menguat jika tidak ada informasi langsung mengenai anggota kelompok lain. Gilovich (1987) dalam Labianca, et al. (1998) menunjukkan bahwa informasi sosial yang disampaikan oleh pihak ketiga, yang telah disederhanakan dan konteksnya diubah ketika disampaikan ulang kepada orang lain, menyebabkan penilaian sosial yang lebih ekstrim dibandingkan dengan informasi dari sumber pertama. Burt dan Knez (1995;1996) dalam Labianca, et al. (1998) juga berpendapat bahwa pihak ketiga memperkuat sikap dan hubungan yang sudah ada dengan isu-isu positif tau negatif. Hasil penelitian Labianca et.al. (1998) menunjukkan bahwa banyaknya persahabatan dengan individu-individu yang terlibat dalam hubungan negatif dengan anggota kelompok lain berhubungan positif dengan persepsi konflik ntar kelompok, sedangkan banyak persahabatan dengan individu yang terlibat dalam persahabatan dengan anggota-anggota lain berhubungan negatif dengan persepsi konflik antar kelompok. Keterkaitan Hubungan antar Kelompok dengan Persepsi Konflik antar Kelompok Keenan dan Carnevale (1989) mengatakan bahwa hubungan antar pribadi dalam suatu kelompok kan melebar ke hubungan dengan kelompok lain. Adanya hubungan negatif dalam suatu kelompok bisa menimbulkan pembentukan sikap negatif, kecurigaan, deindividualisasi, dan kurangnya kepercayaan kepada pihak lain. Hubungan antar pribadi yang negative dalam suatu kelompok akan meningkatkan persepsi konflik antar kelompok atau sebaliknya, hubungan positif dalam suatu kelompok akan bisa menurunkan persepsi konflik antar kelompok. Hasil penelitian Labianca et.al. 1998) menunjukkan bahwa keeratan hubungan dalam suatu kelompok berhubungan negatif dengan persepsi konflik antar kelompok. Menangani Konflik antar Kelompok Konflik antar pribadi alam suatu kelompok maupun konflik antar kelompok dalam suatu organisasi dipastikan akan selalu ada. Terdapat dua jenis keadaan konflik, terdapat banyak konflik atau terlalu sedikit konflik. Eduanya membawa konsekuensi positif maupun negatif bagi organisasi. Bagaimanapun konflik harus ada dalam organisasi. Tugas manajer adalah mengarahkan dan mengendalikan agar konflik berada pada level yang sedang/moderat dan efektif bagi organisasi. Hubungan antar kelompok cenderung regeneratif, sehingga konflik antar kelompok akan selalu “terwariskan” kepada generasi baru anggota kelompok. Dinamika eskalasi konflik terdapat “di dalam dan antara kelompok yang terlibat”. Di dalam suatu kelompok, konflik dengan kelompok lain cenderung menambah kepaduan/keeratan dan keselarasan kelompok tersebut, dan mendorong anggapan ahwa “kelompok kita” lebih benar/lebih baik daripada Mengurangi timbulnya konflik melalui pertemuan 24 USAHAWAN NO. 09 TH XXIX SEPTEMBER 2000 kelompok lain. Konflik antar kelompok mendorong stereotip negatif dan ketidakpercayaan, mempertajam perbedaan, mengurangi intensitas komunikasi, dan meningkatkan distorsi komunikasi.Mendiagnosa Konflik Antar Kelompok Diagnosa terhadap konflik merupakan langkah awal bagi penyelesaian konflik. Untuk dapat mendiagnosa konflik, langkah yang harus dilakukan adalah (Brown:1998): 1) manajer harus menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: dimana konflik berakar, peran apa yang dapat dimainkan dalam hubungan antar kelompok, dan seperti apa hubungan antar kelompok yang dikehendaki, 2) manajer harus mengambil posisi ditengah-tengah kelompok yang berkonflik atau menunjuk pihak ketiga sebagai penengah konflik, 3) manajer harus bisa melihat mana yang terlalu banyak konflik dan mana yang terlalu sedikit konflik, kapan intervensi dilakukan, dan apakah intervensi akan meningkatkan atau menurunkan konflik. Untuk melihat hubungan dan konflik antar kelompok, bisa dilihat dari sikap, perilaku, dan struktur. Sikap meliputi orientasi kelompok dan anggota kelompok terhadap kelompok mereka sendiri dan kelompok lain. Perilaku meliputi cara- ara bertindak kelompok dan anggotanya yang tercermin dari tingkat kepaduan dan keselarasan dalam kelompok. Struktur adalah faktor yang mempengaruhi interaksi dalam jangka panjang. Menentukan Metode Penyelesaian Konflik Penyelesaian konflik antar kelompok akan efektif, dan konstruktif jika 1) melibatkan manajemen melalui intervensi (Brown: 1998), dan 2) dilakukan oleh kelompok yang berkonflik melalui melalui problem solving, forcing atau gabungan keduanya (Vliert, et al.: 1999). Intervensi Manajemen dalam Menangani Konflik Intervensi dilakukan untuk menciptakan konflik jika konfliknya terlalu sedikit dan menurunkan konflik jika konfliknya terlalu banyak. Intervensi yang efektif untuk meningkatkan atau menurunkan konflik adalah tindakan mempengaruhi sikap, perilaku, dan struktur yang dilandasi diagnosa yang akurat. Intervensi harus bisa memutus siklus proses konflik yang dihasilkan oleh interaksi sikap, perilaku, dan struktur (Brown:1998). 1. Mengubah Sikap Mengubah sikap bisa dilakukan dengan melihat banyak sedikitnya konflik antar kelompok dalam organisasi. Mengubah sikap untuk menurunkan konflik dapat dilakukan dengan mempengaruhi kelompok tentang cara menghadapi suatu kejadian, penggunaan sasaran bersama yang bisa disetujui kelompok yang mengalami konflik, dan bisa juga dengan mengubah pemahaman kelompok tentang persamaan dan pebedaan sehingga akan mempengaruhi interaksi antar mereka. Di sisi lain, untuk mendorong tumbuhnya konflik, upaya intervensi yang dilakukan adalah menurunkan saling ketergantungan antar kelompok atau mempertinggi “conflict of interests” di antar kelompok. 2. Mengubah Perilaku Untuk mengubah perilaku diperlukan modifikasi cara-cara bertindak anggota kelompok. Mengubah perilaku dalam kelompok bisa berdampak pada cara-cara kelompok tersebut dalam saling berhubungan. Ketika anggota-anggota kelompok yang sangat erat hubungannya saling berhadapan dengan konflik yang ada dalam kelompok, antusias mereka untuk berhadapan dengan kelompok luar akan berkurang. Demikian pula kelompok yang terkotak-kotak di dalamnya yang menjadi semakin erat akan meningkatkan kemungkinan konflik dengan kelompok lain. Strategi mengubah perilaku yang lain adalah melatih perwakilan kelompok untuk mengelola konflik lebih efektif, baik menangani konflik yang terlalu banyak maupun terlalu sedikit. Alternatif ketiga adalah memonitor perilaku antar kelompok. 3. Mengubah Struktur Mengubah struktur artinya mengubah faktor-faktor yang melandasi dan mempengaruhi hubungan antar kelompok. Pada level konflik yang tinggi, untuk mengubah struktur, strategi yang lazim digunakan adalah menggunakan intervensi sistem yang lebih besar. Konflik antar kelompok dalam sistem yang lebih besar bias dikurangi dengan mengedepankan isu pada level yang lebih tinggi. Strategi yang kedua adalah mengubah struktur peraturan sehingga diharapkan bisa mengendurkan konflik yang timbul. Strategi ketiga adalah pembuatan mekanisme “interface” baru, misalnya dengan mendisain ulang konflik menjadi struktur matriks, sehingga akan ditemukan bagian-bagian yang mengalami konflik dalam individu untuk memastikan bahwa upaya manajemen yang efektif telah dilakukan. Konflik yang terlalu sedikit memerlukan klarifikasi batas dan sasaran kelompok, sehingga perbedaan di antara mereka menjadi semakin jelas dan bisa menimbulkan konflik. Problem Solving dan Forcing Penyelesaian atau penanganan konflik akan memberikan hasil yang konstruktif jika melibatkan secara efektif pihak-pihak atau kelompok yang berkonflik melalui problem solving, forcing, atau gabungan antara kedua metode tersebut. 1. Problem Solving Problem solving adalah rekonsiliasi kepentingan-kepentingan dasar pihak-pihak yang berkonflik. Risiko penggunaan metode ini adalah kemungkinan hubungan timbal balik yang negatif antara pihak-pihak yang bertentangan akan menghambat hasil bersama atau solusi akhirnya tidak sebanding dengan waktu dan energi yang digunakan atau win-win solution pantas dipertanyakan. 2. Forcing Forcing adalah memaksakan kepentingan sendiri atau kelompoknya dengan menentang llawan secara langsung. Perilaku konflik dipandang konstruktif jika individu atau kelompok berhasil merealisasikan manfaat konflik yang dikehendaki. Resiko forcing antara lain eskalasi USAHAWAN NO. 09 TH XXIX SEPTEMBER 2000 25 batas biaya yang ditetapkan, perusakan hubungan, dan kemacetan yang ditimbulkan oleh kegagalan taktik persaingan. 3. Gabungan Problem Solving dan Forcing Gabungan kedua metode tersebut akan bisa meningkatkan efektivitas konflik dengan meminimalkan kecenderungan problem solving menimbulkan stagnasi sedangkan kecenderungan forcing menimbulkan eskalasi Efektifitas Penyelesaian Konflik Efektivitas penyelesaian konflik tergantung dari perspektif mana penyelesaian konflik tersebut dipandang. Pada prisnsipnya ada beberapa perspektif yang dapat digunakan untuk mengevaluasi efektivitas penyelesaian konflik, yaitu: a one-best-way perspective, contingency perspective, time perspective, dan complexity perspective. Tiga perspketif yang pertama menggunakan dua asumsi yang sama, yaitu: 1) orang berperilaku dengan cara murni dan bukan cara yang lain. Artinya mereka bereaksi terhadap isu konflik dengan problem solving atau forcing, atau model lain penanganan konflik, tetapi tidak dengan dua perilaku atau lebih secara bersamaan. 2) Orang mencapai hasil yang substantif dan relasional yang lebih baik dengan sarana perilaku murni, bukan kombinasi perilaku. 1. A one-best-way perspective Menurut perspektif ini, problem solving merupakan model penyelesaian konflik yang konstruktif karena menyatukan orang-orang dengan satu isu, sehingga merangsang kreativitas dan saling kerja sama. 2. Contingency perspective Menurut perspektif ini, efektivitas metode penyelesaian konflik ditentukan dalam situasi yang riil. Suatu model dapat saja efektif untuk situasi tertentu, namun tidak efektif untuk situasi lain. 3. Time perspective Menurut perspektif ini, efektivitas metode penyelesaian konflik diukur berdasarkan karangka waktu. Artinya apakah suatu metode memberikan jawaban pertanyaan jangka pendek tentang bagaimana mengatasi konflik saat ini, di sini, ataukah sebaliknya. 4. Complexity perspective Menurut perspektif ini, efektivitas metode penyelesaian konflik diukur berdasarkan kompleksitas masalah yang dapat diselesaikan. Problem solving cocok untuk memadukan pandangan dan mengatasi perasaan negatif, sedangkan forcing cocok untuk merespon tugas mendesak serta pelaksanaan keputusan yang penting. Asumsi yang digunakan perspektif ini adalah: 1) reaksi terhadap konflik terdiri dari banyak respon perilaku dan bukan satu model perilaku saja. 2) Konglomerasi model perilaku konflik memiliki efek gabungan pada outcome konflik secara substantif dan relasional. Untuk menguji efektifitas masingmasing cara penyelesaian konflik tersebut, Vliert, et al. (1998) melakukan studi pada beberapa 3 obyek penelitian di Belanda, yaitu pada pusat pengembangan manajemen kepolisian nasional, pada mahasiswa University of Groningen, dan para manajer. Hasil studi menunjukkan dalam upaya penyelesaian konflik, forcing murni lebih banyak digunakan daripada problem solving, penggabungan, dan penggiliran problem solving dan forcing. Problem solving dan forcing murni memiliki interelasi negative dan masing-masing berhubungan positif dan negatif dengan efektifitas organisasi. Terdapat tiga kesimpulan umum dari studi tersebut, yaitu; 1) kombinasi simultan problem solving dan forcing akan efektif jika kombinasi pengurutan dihilangkan dalam pertimbangan. 2) Forcing tidak efektif kecuali jika diikuti dengan kombinasi forcing dan problem solving. 3) Pengulangan forcing yang diikuti oleh problem solving akan mendorong efektifitas organisasi. Penutup Konflik antar kelompok diyakini akan selalu ada dalam setiap organisasi. Jika dikelola dengan baik, konflik tersebut akan berdampak positif dan konstruktif bagi efektifitas organisasi. Kualitas dan frekuensi interaksi antar pribadi bias mempengaruhi persepsi konflik antar kelompok, demikian pula persepsi konflik antar kelompok bisa mempengaruhi kualitas dan frekuensi interaksi antar pribadi. Persepsi antar kelompok akan menurunkan frekuensi interaksi antar anggota-anggota kelompok yang berkonflik. Konflik antar kelompok bias meningkat dengan peningkatan frekuensi komunikasi antar kelompok. Hubungan antar pribadi dalam suatu kelompok bias mempengaruhi persepsi konflik antar kelompok, meskipun tidak terkait langsung dengan anggota kelompok luar. Hubungan antar pribadi yang negative dalam suatu kelompok akan meningkatkan persepsi konflik antar kelompok atau sebaliknya. Agar konflik konstruktif bagi efektifitas organisasi, diperlukan intervensi pihak manajemen dalam penyelesaiannya. Intervensi dilakukan untuk menciptakan jika konfliknya terlalu sedikit dan menurunkan konflik jika konfliknya terlalu banyak. Intervensi bisa dilakukan dengan mengubah sikap, perilaku atau struktur peraturan. Penyelesaian konflik juga akan efektif jika melibatkan pihak-pihak yang berkonflik secara langsung melalui cara problem solving atau forcing, yang bisa digunakan secara parsial maupun simultan tergantung kadar dan jenis konflik yang ada.