Label

Minggu, 13 November 2011

Islam Indonesia (Ahlussunah Waljama'ah)


Iftitah
Adalah suatu kenyataan sejarah bahwa umat Islam terpecah belah dalam kelompok-kelompok dan golongan-golongan. Masing-masing mempunyai  nama serta sikap dan tingkah laku sendiri. Kita kenal nama Syi’ah, Khawarij, dan Mu’tazilah kemudian kita kenal nama Ahlu Al-Sunnah wa Al-Jama’ah.
Sebagaimana aliran lain yang lahir pada abad pertengahan, Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah (Aswaja) merupakan aliran yang holistik (menyeluruh). Aswaja mencakup pandangan tentang realitas (ontologi), pandangan tentang pengetahuan dan pandangan tentang tata nilai (aksiologi), kemudian masih dilengkapi lagi pandangan mengenai masa depan yang dijanjikan (eskatologi). Pandangan holistik, berasumsi bahwa sebuah aliran mampu menjawab dan mengatur segala aktivitas manusia di segala bidang, pandangan itu memang merupakan ciri khas dari pemikiran skolastik. Sementara pandangan holistik tentang Aswaja itu oleh kalangan NU dirumuskan, sebagai landasan berpikir, bersikap dan bertindak. Sedangkan, kalangan Islam revivalis merumuskan Aswaja sebagai teori dan praktek yang menyangkut dimensi lahir dan batin. Pandangan yang serba meliputi itu dirinci dalam berbagai disiplin keilmuan dan agenda kegiatan sosial. Oleh karena itu, dalam pengertian kontemporer Aswaja tidak hanya meliputi doktrin teologi (akidah), tetapi telah dikembangkan sebagai ideologi pembaruan sosial.
Ta’rif Ahlu Al-Sunnah wa Al-Jama’ah
1.     Ditinjau dari ilmu bahasa (etimologi) Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah berasal dari kata-kata:
·       Ahlu, yang berarti kaum, keluarga atau golongan
·       Assunah, yang berarti ucapan Nabi Muhammad SAW, tingkah laku, kebiasaan atau perbuatan Nabi Muhammad SAW, dan persetujuan atau sikap Nabi Muhammad SAW.
·       Wa, kata sambung yang berarti “dan”
·       Al-Jama’ah, yang berarti kumpulan atau kelompok. Dan yang dimaksud kelompok disini adalah kelompok sahabat Nabi. Sedangkan, yang dimaksud dengan sahabat Nabi adalah mereka yang beriman kepada Nabi dan hidup sezaman atau pernah berjumpa dengan Nabi SAW.
2.     Ditinjau dari segi istilah (terminologi) Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah berasal dari hadits-hadits Nabi antara lain yang telah disebut di atas.
Bisa kita simpulkan bahwa Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah ajaran yang dibawa dan dikembangkan dan diamalkan oleh Nabi Muhammad SAW., ajaran tersebut dihayati, diikuti dan diamalkan oleh para sahabat, atau golongan yang paling setia kepada Nabi Besar Muhammad SAW.


Sejarah Timbulnya Teologi Islam (Kalam)
Munculnya teologi Islam adalah dimulai pada masa kekuasaan dua khalifah terakhir, yakni Utsman dan Ali. Usman termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya. Kaum keluarganya terdiri dari orang aristocrat yang karena pengalaman dagang mereka, mempunyai pengetahuan tentang administrasi. Pengetahuan mereka ini bermanfaat dalam memimpin administrasi daerah-daerah di luar semenanjung Arabia yang bertambah banyak masuk ke bawah kekuasaan Islam. Digambarkan bahwa utsman sebagai orang yang lemah dan tidak sanggup menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Ia mengangkat mereka menjadi gubernur di daerah yang tunduk kepada kekuasaan Islam. Gubernur-gubernur yang diangkat oleh Umar Ibn al-Khattab, khalifah yang terkenal sebagai orang kuat dan tidak memikirkan kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh Utsman.
Tindakan politik yang dilakukan  Utsman menimbulkan rekasi yang cukup keras dari para sahabatnya, terlebih lagi mereka yang dulu mendukungnya mulai meninggalkannya. Perkembangan suasana di Madinah selajutnya membawa pada pembunuhan Utsman oleh pemuka-pemuka pemberontakan dari Mesir ini.
Setelah Utsman wafat, calon terkuat sebagai khalifah yang keempat adalah Ali. Akan tetapi ia mendapat beberapa tantangan dari orang-orang disekitarnya. Pertama datangnya dari pemuka-pemuka yang ingin menjadi khalifah, terutama Thalhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah. Akan tetapi tantangan dari Aisyah dapat dikalahkan oleh Ali dalam pertempuran yang terjadi di Irak tahun 656 M.
Tantangan yang kedua datang dari Muawiyah, gubernur Damaskus, sebagaimana halnya dengan Thalhah, ia tidak mengakui Ali sebagai khalifah. Ia menuntut kepada Ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh Utsman, bahkan ia menuduh Ali turut campur dalam pembunuhan tersebut, dan terjadilah perang Siffin.
Perang besar antara kaum muslimin yang kedua tidak terelakkan lagi. Tragedi ini dapat dikatakan merupakan malapetaka yang sangat disesalkan dalam sejarah umat Islam. Sesudah beberapa lama pertempuran berlangsung, pasukan Muawiyah terdesak dan hampir kalah. Atas saran Amr bin As, mantan gubernur Mesir yang kemudian berpihak kepada Muawiyah, kemudian mereka mengangkat Al-Qur'an di ujung tombak, sebagai pertanda perdamaian. Dengan cara itu mereka mengajak pasukan Ali untuk menyelesaikan persengketaan berdasarkan kitabullah. Pada awalnya, Ali bin Abi Thalib bermaksud untuk melanjutkan perang yang hampir dimenangkan. Namun atas desakan sebagian tentaranya, ia terpaksa menerima gencatan senjata yang ditawarkan musuh.
Untuk menyelesaikan persengketaan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, tahkim atau arbitrase segera diadakan. Sebagai wakil dalam perundingan yang akan dilaksanakan, Muawiyah menunjuk Amr bin As yang dikenal sangat pandai berdiplomasi. Adapun para pengikut Ali menunjuk Abu Musa Al-Asy'ari, seorang tokoh senior dari kaum Muhajirin yang juga dikenal dengan kejujuran, kesalehan, wara' (mengutamakan agama dan akhirat daripada kehidupan duniawi). Pilihan ini sebenarnya tidak disetujui Ali, sebab ia mengetahui bahwa tokoh tua ini bukan tandingan Amr bin As dalam perundingan. Namun, karena desakan yang kuat dari para pengikutnya, ia dengan sangat terpaksa menerima penunjukkan itu. Dalam pertemuan mereka, kelicikan Amr mengalahkan perasaan takwa Abu Musa. Sejarah mengatakan keduanya terdapat pemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, Ali dan Muawiyah. Tradisi menyebut bahwa Abu Musa Al-Asy'ari, sebagai yang tertua, terlebih dahulu berdiri mengumumkan kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang disetujui, Amr bin As mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali yang telah diumumkan Al-Asy'ari, tetapi menolak penjatuhan Muawiyah, ia menetapkan Muawiyah sebagai khalifah.
Keputusan ini sangat mengejutkan mereka yang berada di pihak Ali. Tak satupun dari kelompok ini yang dapat menerima ketetapan tahkim. Bagaimana tidak, yang legal menjadi khalifah adalah Ali bin Abi Thalib, sedangkan Muawiyah kedudukannya tidak lebih dari gubernur daerah yang tidak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitrase ini kedudukannya telah naik menjadi khalifah yang tidak resmi. Tidak mengherankan kalau putusan ini ditolak Ali dan tak mau meletakkan jabatannya, sampai ia mati terbunuh di tahun 661 M.
Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin As untuk mengadakan arbitrase, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa hal serupa tidak dapat diputuskan oleh arbitrase manusia. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam Alqur’an.
Mereka memandang Ali telah berbuat salah dan oleh karena itu mereka meninggalkan barisannya. Golongan mereka inilah dalam sejarah Islam terkenal dengan nama Al-Khawarij, yaitu orang-orang yang keluar dan memisahkan diri (seceders).
Karena memandang Ali bersalah dan berbuat dosa, mereka melawan Ali. Ali sekarang menghadapi dua musuh, yaitu Muawiyah dari satu pihak dan Khawarij dari pihak lain. Karena selalu mendapat serangan dari pihak kedua ini, Ali terlebih dahulu memusatkan usahanya untuk menghancurkan kaum Khawarij, tetapi setelah mereka kalah, tentara Ali terlalu capai untuk meneruskan pertempuran dengan Muawiyah. Muawiyah tetap berkuasa di Damaskus dan setelah Ali bin Abi Thalib wafat ia dengan mudah dapat memperoleh pengakuan sebagai khalifah umat Islam pada tahun 661 M.
Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik sebagaimana digambarkan di atas iniliah yang akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Dari mata rantai awal inilah kemudian terus menerus bermunculan aliran-aliran kalam dalam tarikh Islam yang memang tidak bisa lepas dari dimensi politik, mulai dari paham Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyyah, dan Murji’ah sampai Asy’ariyah dan Maturidiyah yang kemudian hari diidentikkan dengan dengan paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah.
1)    Syi’ah
Golongan yang beri’tiqad bahwa sahabat Ali adalah orang yang berhak menjadi khalifah pengganti Nabi, karena menurut mereka Nabi telah berwasiat bahwa pengganti beliau sesudah wafat adalah sahabat Ali.
2)    Khawarij
Golongan ini semula pengikut sahabat Ali, kemudian setelah Ali menerima tahkim mereka memisahkan diri dan golongan ini terlalu kaku dan radikal dan bias dikatakan Radikal Anarkis.
Ajarannya adalah Khalifah Ali tidak sah sesudah tahkim, dan beliau menjadi kafir karena menerima tahkim, Aisyah terkutuk sebab melakukan “peperangan Jamal” melawan Ali, semua orang yang membantah I’tiqad kaum khawarij adalah kafir, halal darahnya, hartanya dan anak istrinya.
3)    Mu’tazilah
Golongan ini adalah golongan umat Islam  yang terlalu banyak mendapat pengaruh filsafat Yunani yang telah diterima oleh sarjana-sarjana muslim.
Ajarannya adalah baik dan buruk itu telah ditentukan oleh akal pikiran, sedangkan Al-Qur’an hanya berfungsi sebagai penguat dari apa yang telah ditentukan oleh akal pikiran tersebut, serta Al-Qur’an adalah makhluk dan lain sebagainya.
4)    Qadariyah
Golongan ini beri’tiqad bahwa pekerjaan manusia itu tidak ada sangkut pautnya dengan Allah.
5)    Jabariyyah
Golongan ini berpendapat bahwa manusia itu sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk berikhtiar. Perbuatan baik atau buruk yang dilakukan manusia, masuk surga atau neraka adalah semata-mata dipaksa oleh Qudrat Ilahi.
Ajaran mereka tidak ada ikhtiar atau usaha manusia, semuanya dari Tuhan, Iman itu cukup dihati saja.
6)    Murji’ah
Golongan ini terdiri dari sekumpulan umat Islam yang ingin menjauhkan diri dari pertikaian yang terjadi di antara para sahabat Nabi. Mereka tidak mau menyalahkan orang lain seperti Aisyah dan Ali, dan tidak mengkafirkan orang lain.
Ajarannya, Rukun Iman itu hanya mengenal Tuhan dan Rasul-Nya saja, berbuat dosa itu tidak apa-apa kalau sudah mengenal Tuhan dan Rasul-Nya.
7)    Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah (Aswaja)
Pendirinya adalah Abu Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Al-Asy’ari lahir di Basrah di tahun 873 M dan wafat di Bagdad pada tahun 935 M. Pada mulanya ia adalah murid Al-Jubba’i dan salah seoranag terkemuka dalam golongan Mu’tazilah sehingga menurut Al-Husain bin Muhammad Al-Askari, Al-Jubba’I berani mempercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya. Tetapi oleh sebab-sebab yang tidak jelas, Al-Asy’ari sungguhpun telah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Sebab yang biasa disebut, yang berasal dari Al-Subki dan Ibnu Asakir ialah bahwa pada suatu malam Al-Asy’ari bermimpi, dalam mimpi itu Nabi Muhammad SAW mengatakan kepadanya bahwa Madzhab Ahli Haditslah yang benar, dan Madzhab Mu’tazilah salah. Sebab lain bahwa Asy’ari berdebat dengan gurunya Al-Jubba’i dan dalam perdebatan itu guru tidak dapat menjawab tantangan murid. Maka dari itulah Al-Asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah dan menyusun teologi baru yang sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada hadits.
Nahdlatul Ulama dan Ahlu Al-Sunnah wa Al-Jama’ah
Doktrin Paham Nahdlatul Ulama (NU), mengakar pada tradisi pemikiran Islam klasik yang berkembang pada masa tabi'uttabiin (Ulama generasi ke-2 setelah generasi sahabat Nabi Muhammad SAW). Doktrin atau faham tersebut adalah Ahlu al-Sunnah Wa al-Jama’ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstem naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi, kemudian dalam bidang fiqih mengikuti empat madzhab yakni Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Jika kita menelisik secara tekstual alur pemikiran NU, maka mode teologi Asya'riayah yang selalu ingin menjembatani berbagai kontroversi dan mencari jalan tengah adalah cara yang selalu dipakai oleh NU untuk ijtihad politik dan sosial. Pandangan ulama NU dibangun dari sebuah kesederhanaan cara berfikir, yaitu agama dimanifestasikan dalam bentuk akhlakul karimah dan menjadi daya rangsang bagi tercapainya kemaslahatan bangsa dan negara.
Aswaja Sebagai Manhajul Fikr
Dengan sikap dan pemahaman yang di dasarkan atas prinsip Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah, baik dalam bidang teologi, fiqih dan tasawuf, serta pengalaman empirik bangsa Indonesia ini, maka aswaja sebagai manhajul fikr (metode berfikir) harus bisa menjadi alat yang bisa menjawab berbagai macam realitas sebagai upaya mengkontekstualkan ajaran Islam sehingga benar-benar dapat  membawa Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin, dengan memegang tiga prinsip dasar Aswaja yaitu :
1)    Tawassuth, yaitu sikap moderat yang berpijak pada prinsip keadilan serta berusaha menghindari segala bentuk sikap tatharuf (ekstrim), baik dalam bidang agama maupun politik, karena sikap tersebut mengarah pada kekerasan dan disintegrasi.
2)    Tasamuh, yaitu sikap toleran yang berintikan penghargaan terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat. Karena hanya dengan sikap tasamuh itu rasa saling percaya dan solidaritas bisa ditegakkan, dan ini merpakan inti hidup berbangsa.
3)    Tawazun, yaitu sikap yang selalu berusaha menciptakan keseimbangan hubungan antara sesama umat manusia dengan Allah SWT., antara akal dan wahyu, serta antara individu dan kolektivitas. Dengan sikap tawazun ini harmoni dalam kehidupan baik pikiran maupun tindakan bisa terwujud. 



Didalam PMII Aswaja dijadikan Manhajul Fikri artinya Aswaja bukan dijadikan tujuan dalam beragama melainkan dijadikan metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran agama. Walaupun banyak tokoh yang telah mencoba mendekontruksi isi atau konsep yang ada dalam Aswaja tapi sampai sekarang Aswaja dalam sebuah metode berfikir ada banyak relevansinya dalam kehidupan beragama, sehingga PMII lebih terbuka dalam membuka ruang dialektika dengan siapapun dan kelompok apapun.
Dengan prinsip moderat (Tawassuth), bisa dijadikan sebuah senjata atau alat untuk selalu berdialektika dan berdiaolog dengan kondisi zaman apapun. Sikap ini sangat relevan ketika dihadapkan dengan sekian perubahan zaman. PMII tidak lantas gagap atau bahkan apatis menghadapi desakan arus modernisasi yang melahirkan dilema. PMII tidak secara vis a vis menyikapi gelombang tersebut, karena bagaimanapun juga peradaban modern merupakan sebuah keniscayaan yang hadir didunia dengan sekian implikasi yang dilahirkannya, maka sikap menolak dan melarikan diri kearah dogma agama tanpa adanya pemaknaan kritis, bukanlah sebuah hal yang bersifat solutif. Atas asumsi itulah sikap mengambil jalan tengah, mungkin bisa dijadikan upaya alternatif untuk meletakkan diri kita secara proporsional ditengah peradaban ini. Karena modernisasi bukanlah merombak secara total dengan menafikan tradisi lama, tetapi bagiamana tradisi serta tatanan masyarakat yang lama tersebut bisa diaktualisasikan dengan melakukan reinteprestasi ajaran sesuai dengan kontek kekinian.
Aktualisasi dari prinsip yang pertama adalah bahwa selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun tidak terjebak pada mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada apakah dan bagaimana dia menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya, ada sebuah keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam antara wahyu dan akal sehingga kita tidak terjebak pada paham skripturalisme (tekstual) dan rasionalisme.
Selanjutnya, dalam konteks hubungan sosial, seorang kader PMII harus bisa menghargai dan mentoleransi perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita pada orang lain, yang diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialiektikakan keyakinan atau pendapat tersebut, dan ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari Tuhan. Ini adalah manifestasi dari prinsip tasamuh dari Aswaja sebagai manhajul fikri.
Dan yang terakhir adalah tawazzun (seimbang). Penjabaran dari prinsip tawazzun meliputi berbagai aspek kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maupun dalam konteks politik sekalipun. Ini penting karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam berinteraksi di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan yang tidak seharusnya. walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki keberpihakan sama sekali, minimal keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa memandang dan memposisikan segala sesuatu pada proporsinya masing-masing adalah sikap yang paling bijak, dan bukan tidak mengambil sikap karena itu adalah manifestasi dari sikap pengecut dan oportunis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar