Label

Minggu, 16 Oktober 2011

Sejarah Singkat PMII

Latarbelakang pembentukan PMII
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir karena menjadi suatu kebutuhan dalam menjawab tantangan zaman. Berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bermula dengan adanya hasrat kuat para mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlussunnah Waljama'ah (Aswaja). Lahirnya PMII merupakan wujud kebebasan berpikir, artinya sebagai mahasiswa harus menyadari sikap memilih dan menentukan kehendak sendiri atas dasar pilihan sikap dan idealisme yang dianutnya. Dibawah ini adalah beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai penyebab berdirinya PMII :
1.       Carut marutnya situasi politik bangsa indonesia dalam kurun waktu 1950-1959.
2.       Tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada.
3.       Pisahnya NU dari Masyumi.
4.       Tidak enjoynya lagi mahasiswa NU yang tergabung di HMI karena tidak terakomodasinya dan terpinggirkannya mahasiswa NU.
5.       Kedekatan HMI dengan salah satu parpol yang ada (Masyumi) yang nota bene HMI adalah underbouwnya (alat politiknya Masyumi).
6.       Mahasiswa NU membutuhkan suatu wadah (organisasi) untuk menanpung aspirasi-aspirasi mahasiswa NU.
Hal-hal tersebut diatas menimbulkan kegelisahan dan keinginan yang kuat dikalangan intelektual-intelektual muda NU untuk mendirikan organisasi sendiri sebagai wahana penyaluran aspirasi dan pengembangan potensi mahasiswa-mahasiswa yang berkultur NU. Disamping itu juga ada hasrat yang kuat dari kalangan mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlussunnah Waljama’ah.
Organisasi-organisasi pendahulu
Di Jakarta pada bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang dipelopori oleh Wa’il Harits Sugianto. Sedangkan, di Surakarta berdiri KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad. Namun, keberadaan kedua organisasi mahasiswa tersebut tidak direstui bahkan ditentang oleh Pimpinan Pusat IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) dan PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama). Mengapa tidak direstui? Karena, pada waktu itu IPNU baru saja lahir atau berdiri dua tahun sebelumnya yakni tanggal 24 Februari 1954 di Semarang. IPNU mempunyai kekhawatiran jika IMANU dan KMNU akan memperlemah eksistensi IPNU dan PBNU mempunyai ketakutan tidak akan terakomodir dengan baik jika harus mengurus tiga organisasi sekaligus, sedangkan IPNU saja masih belum berumur lama.
Gagasan pendirian organisasi mahasiswa NU muncul kembali pada Muktamar II IPNU di Pekalongan (pada tanggal 1 s.d. 5 Januari 1957). Gagasan ini pun kembali ditentang karena dianggap akan menjadi pesaing bagi IPNU. Sebagai langkah kompromis atas pertentangan tersebut, maka pada Muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember 1958) dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang diketuai oleh Isma’il Makki (Yogyakarta). Namun, dalam perjalanannya antara IPNU dan Departemen PT-nya selalu terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan program organisasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang yang diterapkan oleh mahasiswa dan dengan pelajar yang menjadi pimpinan pusat IPNU. Disamping itu para mahasiswa pun tidak bebas dalam melakukan sikap politik karena selalu diawasi oleh PP IPNU.
Konferensi Besar IPNU
Oleh karena itu, gagasan legalisasi organisasi mahsiswa NU senantisa muncul dan mencapai puncaknya pada Konferensi Besar (KONBES) IPNU I di Kaliurang pada tanggal 14-17 Maret 1960. Dari forum ini kemudian kemudian muncul keputusan perlunya mendirikan organisasi mahasiswa NU secara khusus di perguruan tinggi. Selain merumuskan pendirian organisasi mahasiswa, KONBES Kaliurang juga menghasilkan keputusan penunjukan tim perumus (delegasi) untuk pendirian organisasi mahasiswa NU yang terdiri dari 13 tokoh mahasiswa NU, mereka adalah:


1.         Khalid Mawardi (Jakarta)
2.         M. Said Budairy (Jakarta)
3.         M. Sobich Ubaid (Jakarta)
4.         Makmun Syukri (Bandung)
5.         Hilman (Bandung)
6.         Ismail Makki (Yogyakarta)
7.         Munsif Nakhrowi (Yogyakarta)
8.         Nuril Huda Suaidi (Surakarta)
9.         Laily Mansyur (Surakarta)
10.      Abd. Wahhab Jaelani (Semarang)
11.      Hizbulloh Huda (Surabaya)
12.      M. Kholid Narbuko (Malang)
13.      Ahmad Hussein (Makassar)



Keputusan lainnya adalah tiga mahasiswa yaitu Hizbulloh Huda, M. Said Budairy, dan Makmun Syukri untuk sowan ke Ketua Umum PBNU kala itu, KH. Idham Kholid.


Deklarasi
Pada tanggal 14-16 April 1960 diadakan Musyawarah Mahasiswa NU yang bertempat di Sekolah Mu’amalat NU Wonokromo, Surabaya. Peserta musyawarah adalah perwakilan mahasiswa NU dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU.
Pada saat itu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Dari Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan Mahasiswa Sunni (HMS) atau Perhimpunan Mahasiswa Sunni (PMS). Dari Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII dan nama PMII yang menjadi kesepakatan, meskipun hanya tiga huruf dari belakang yang sudah jelas mempunyai kepanjangan yaitu “Mahasiswa Islam Indonesia”. Selanjutnya, yang menjadi persoalan adalah kepanjangan dari “P” apakah Perhimpunan atau Persatuan. Untuk menjawab persoalan tersebut, dirumuskanlah dalam musyawarah bahwa huruf “P” itu merupakan kepanjangan dari “Pergerakan”. Dan akhirnya, disepakati huruf “P” merupakan singkatan dari “Pergerakan” sehingga PMII singkatan dari “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”.
Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) organisasi serta memilih dan menetapkan sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, M. Khalid Mawardi sebagai wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII. Adapun PMII dideklarasikan secara resmi di Surabaya pada tanggal 17 April 1960 Masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal 1379 Hijriyah.

Independensi PMII
Dari awal berdirinya, PMII sepenuhnya berada di bawah naungan dan terikat dengan segala garis kebijaksanaan partai induknya, yaitu NU (Nahdlatul Ulama). PMII merupakan perpanjangan tangan NU, baik secara struktural maupun fungsional. Selanjutnya sejak dasawarsa 70-an, ketika rezim neo-fasis Orde Baru mulai mengkerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan issue back to campus serta organisasi-organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran realistis. Melalui Musyawarah Besar (MUBES) di Murnajati pada tanggal 14 Juli 1972, PMII mencanangkan independensi dan harus terlepas dari organisasi manapun (hal ini terkenal dengan Deklarasi Murnajati). Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII.
Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral, kesamaan background, pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan.
Maka dari itu, betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak lepas dari faham Ahlussunnah Waljamaah yang merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara kultural dan ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) merupakan benang merah antara PMII dengan NU. Dan dengan Aswaja, PMII membedakan diri dengan organisasi lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar