Label

Kamis, 05 Januari 2012

Memperteguh Idealisme Kebangsaan Menuju Indonesia Merdeka Seutuhnya

Oleh: Achmad Junaidi*

Altusher dalam pandangan kenegaraannya berpendapat bahwa bangsa yang merdeka adalah bengsa yang memiliki pandangan bersama, yaitu sebuah cita-cita luhur yang didalamnya tertampung seluruh aspirasi dan kebutuhan warganya (ideology) serta memiliki system aparatur negara yang kuat secara mandiri tanpa adanya intervensi negara lain untuk mengatur dan menjalankan roda pemerintahan demi tercapainya tujuan tersebut (apartus state).
Kiranya teori diatas sangat tepat untuk mengenang sekaligus bahan evaluasi 61 tahun kelahiran bangsa Indonesia, terkait dengan munculnya beberapa asumsi akan mulai rapuhnya bangunan ideology negara dan kebangsaan (nation and state building). Hal ini diperkuat dengan fakta lapangan yang menunjukkan perselisihan fahan yang didasari oleh perbedaan kepentingan, pertikaian antar suku dan etnis yang kembali marak hingga beberapa daerah yang ingin melepaskan diri dari negara kesatuan republik Indonesia, setidaknya hal ini menjadi bahan kajian penting bahwasanya disintegrasi bangsa telah mengancam negeri ini.
Pertanyaan apakah hari ini Indonesia sudah merdeka secara dejure memang demikian adanya, karena sudah memproklamasikan diri terbebas dari kekangan bangsa lain, akan tetapi secara defakto untuk mengatakannya mungkin ini harus di kaji ulang karena masih banyak lagi persyaratan yang harus dilalui oleh negeri ini untuk menjadi bangsa yang merdeka secara utuh.
Jenderal TNI Ryamizard Ryachudu mengatakan ada beberapa potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dan melimpah ruah. Mulai dari luas negara yang nomor 15 didunia, berpenduduk terbanyak keempat dan berpenghasilan biji-bijian ke-6 di dunia, dari unsur teh terbesar ke-6, penghasil kopi terbesar ke-4, minyak sawit terbesar ke-2, lada putih peringkat pertama, lada hitam peringkat kedua, karet alam pringkat ke-2, karet sintetik peringkat ke-4, kayu lapis nomor 1, penghasil ikan terbesar ke-6 didunia, batu bara peringkat ke-9, tembaga peringkat ke-3, minyak bumi nomor 11, natural gas nomor 6, LNG nomor 1, emas nomor 8 didunia, belum lagi aspal, bauksit, nikel, granit, perak, uranium, marmer, mineral dan sebagainya semuanya ada di Indonesia (baca: AULA Juli 2006).
Begitu besar potensi kekayaan alam Indonesia untuk dapat dijadikan modal memajukan bangsa ini hingga dapat bersaing dengan negara-negara lain yang pada dasarnya jika diukur dari segi finansial dan modal sumberdaya alam jauh dibawah kita, seperti Malaysia dan Singapura misalnya yang sekarang perkembangannya jauh lebih pesat diatas Indonesia.
Akhirnya ada pertanyaan besar yang harus dijawab oleh para pelaku dan seluruh penduduk negeri ini. Apa yang salah dari negeri kita tercinta ini?
Sebagai negara yang kaya akan potensi sumberdaya alam ada dua kemungkinan besar kelangsungannya untuk bisa berkembang atau terjerembab pada arus penjajahan gaya baru (neo imperealisme). Pertama bangsa yang kaya akan sumberdaya alam akan menjadi incaran negera-negara imperealis, dengan dalih menanam infestasi mereka akan mengeksploitasinya dan kedua mereka sadar dan mengembangkan diri untuk mampu mengelola sumberdaya tersebut hingga mampu mengembangkan diri (baca Johan Galtung: the new Imprealisme1999).
Untuk mengetahui Indonesia ada diposisi mana mungkin kasus lelang antara pertamina dan exol mobile sebagai penentu siapa yang berhak mengelola blok cepu (tanpa memperhatikan factor profid dan non profid) kiranya cukup menjadi jawaban bahwa kita tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan sumberdaya alam yang kita miliki, melihat masih banyak kasus lain tentang perusahaan-perusahaan luar negeri yang mengelola SDA kita, friport, indosat dan perkebunan sawit di Sumatra yang mejadi milik Malaysia serta lain sebagainya.
Membangun Kembali Cita-Cita Bersama
Belajar dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia factor utama kegagalannya adalah perjuangan yang dilakukan secara parsial dan lebih mementingkan kepentingan kedaerahan, kelompok dan terpecah belah. Namun semua itu dapat disatukan oleh sebuah keinginan bersama yang mampu menyatukan berbagai kepentingan tersebut.
Karena kalau di analisa lebih mendalam hal ini pula yang menyebabkan kondisi bangsa ini tidak bisa keluar dari belitan krisis multidimensi yang makin memperihatinkan, beberapa badan representasi masyarakat baik legislative ataupun eksekutif masih berjibaku berjuang untuk kepentingan kelompok dan golongannya masing-masing (lihat beberapa kelahiran UU baru yang di rasa oleh beberapa pihak bersifat individualistik dan sarat dengan kepentingan)
Maka dari itu butuh energi kusus untuk membangun sebuah kebersamaan, sebuah cita-cita yang dapat menghapus batas kepentingan. lantas kolektivitas dan kohesifitas inilah yang kiranya akan mampu melahirkan sebuah komitmen kebangsaan, komitmen untuk bersama memajukan Indonesia untuk meraih serta mengisi Indonesia merdeka yang seutuhnya.

* Mantan ketua umum PMII Tarbiyah Kombes Sunan Ampel Cabang Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar