Label

Minggu, 08 Januari 2012

Wajah Murung Pendidikan Indonesia


Oleh: Dimas Aries Fahruddin As’ad

Dalam sejarah pendidikan di Indonesia selalu diwarnai dengan ketidakteraturan, Interest, dan pola penindasan. Keterputusan sejarah pendidikan (diskontiunitas educatioan history) kita telah membombardir makna dan orientasi pendidikan, tujuan awal pendikan sebagai symbol memanusiakan manusia (humanity oriented) dan pembebasan dari jaring-jaring kekuasaan telah dicemari oleh bentuk ketidak teraturan kebijakan, interest, dan penindasan.
Al-hasil pendidikan kita di ujung tonggak disposisi dan disorientasi. parahnya tatkala negeri ini dalam pasungan rezim dictator orde baru, pendidikan kita mengalami kondisi stagnant dan menuai kejumudan tingkat tinggi. Berulang kali pendidikan kita telah menjadi permainan kepentingan (game of interest) yang diaktori oleh kebengisan negara, maupun Intitusi pendidikan itu sendiri.

Ruang pendidikan hanya mampu bertahan dan berhenti dalam lingkar kekuasaan, dan kepentingan (interest).. Ruang pendidikan justru mengalami tarik ulur antara misi pendidikan dan kepentingan yang sifatnya sejenak. Oleh sebab itu, sifat ambigu makna dan orientasi pendidikan akan syarat dengan penindasan dan memposisikan pendidikan sebagai sub-koordinat. Padahal Salah satu penopang atau instrument kemajuan bangsa adalah kapasitas pendidikan, tatkala pendidikan benar-benar berperan aktif dalam nilai-nilai kemanusiaan (humanis). Selan itu, pendidikan juga menuai misi pembebasan yang besar.

Ketumpulan dan kejumudan pendidikan kita bukanlah persoalan biasa, akan tetapi ini adalah masalah besar dan butuh penyelesaian intensif dan persuasif. Problem pendidikan kita tidak bisa di lihat sebelah mata, yaitu kesalahan negara semata. Memang, persoalan pendidikan merupakan problem structural yang langsung di koordinasi dan dikontrol oleh pemerintah. Akan tetapi asumsi demikian tidak dapat dijadikan alasan menyalahkan pemerintah.
Pasalnya. Kurikulkum dan mekanisme pembelajaran selama ini digarap dan di proyeksikan langsung oleh pemerintah pusat, dalam konteks ini adalah menteri pendidikan. Namun dalam praktik dan operasional konsep pemerintah tersebut seorang pengelola institusi pendidikan dan staf pengajar yang mempunyai peran signifikan.
“Pengajar” menurut Paulo Freire adalah sebagai partner berfikir kritis dan mempunyai kesanggupan berdialog dengan peserta didik dalam suatu pola timbal balik (mutualis). Oleh karena itu, metode pembelajaran seharusnya tidak menciptakan ektrim pengajar dan peserta didik. Justru sebaliknya, pengajar dan pendidik adalah kesatuan entitas bersejajar dan sifatnya partner yang menekankan berfikir kritis transitif.

Guru (Teacher) memiliki kekuatan signifikan dan menjadi salah satu factor determinan dalam ruang pendidikan. Dan secara structural, pengelola intitusi pendidikan adalah yang bertanggung jawab mengenai segala hal yang berkaitan dengan kesejahteraan guru. Pertanyaan selanjutnya adalah, sudahkan guru sebagai orang yang membebaskan dan mencerdaskan, atau malah kejumudan dan stagnasi ini akibat dari otoriterisme seorang pengajar dan kengawuran pengelola intitusi pendidikan?

Memang tatkala dilacak dari prekspektif makro stuktural, Pendidikan selalu tidak dapat lepas dari intervensi negara, dalam kesempatan itu pula ruang pendidikan telah di acak-acak kecepatan frekwensi kebijkan yang tumpang tindih dan tidak populis. Sementara itu di tingkat mikro structural, pendidikan tidak terlepas dari peran dan pengaruh pengajar atau seorang guru dengan pengelola sekolah (Intitusi Pendidikan).

Mengajar bukan hanya sekedar memindahkan (tranformasi) pengetahuan dari pengajar ke peserta didik. Dalam praktiknya, wajah pendidikan kita masih menampakkkan gaya pengajaran yang menggunakan metode bangking (Method of Education Banking). Guru dalam kerangka metode ini menjadikan peserta didik atau murid sebagai fragmentasi dan menjadi obyek. Sehingga mekanisme dan pola pengajaran yang demikian melahirkan polarisasi Humanis yang dehumanisasi. Walaupun pemerintah telah memberlakukan metode kurikulum berbasis kompetensi –KBK, toh kebijakan tersebut belum secara massif berlaku di seluruh sekolah-sekolah di pelosok negeri ini. Artinya, kebijakan demikian masih belum memenuhi standar counter problem ektrim pengajar (subyek) dan peserta didik (obyek). Kebijakan tersebut hanya digunakan legitimasi kepentingan dan dipahami secara parsial, yang menjembatani bayang-bayang kapitalisasi, privatisasi dan komersialisasi dalam ruang pendidikan.

Sikap determinan guru tersebut yang memacu perkembangan dan kemajuan pendidikan, baik ketika ditinjau dari aspek Mutual-Kualitas maupuan Kuatitas-nya. Sebab, parameter kualitas dan mutu pendidikan secara Makro-Stuktural terletak di tangan pemerintah berikut kebijakannya. Sedangkan dalam pandangan Mikro-Struktural ada di tangan pengelola sekolah dan pengajar-pengajar kita.

Jadi, tingkat kapasitas guru dalam kerangka structural tersebut sangat besar pengaruhnya dalam ruang pendidikan. Bagaimana tidak, ketika tingkat kapasitas guru dapat mendeterminasi peserta didik. Ketika terjadi kesalahan pada guru, maka yang menjadi korbannya adalah peserta didik atau generasi penerus bangsa. Kendati demikian, ruang pendidikan telah mengalami kemurungan, kelesuan dan impotensi.

Pendidikan sudah tidak lagi di pandang sebagai suatu pembebasan dari ligkar penindasan, pembodohan maupun ekploitasi. Pendidikan hanya dipandang sebagai pragmatisme dalam ruang social. Pendidikan tidak lagi menjadi sebuah symbol resistensi dan pembebasan dari penindas, akan tetapi digunakan sebagai upaya mencari status dan legitimasi sosial masyarakat.

Sebagi Entry Point pembahasan, dengan spirit hari pendidikan nasional (Hardiknas) seyogyanya pemerintah men-formulasi-kan pendidikan pembebasan. Mekanisme dan kurikulum diformat sesuai dengan kebutuhan dan social kultur di Indonesia. Pendidikan tidak lagi dipandang sebagai barang langit, sulit di dapatkan dan sifatnya utopis. Sebaliknya, langkah alternatif adalah menciptakan pendidikan pembebasan (liberation education) dari penindas, kekuasaan dan dengan biaya yang relatif murah dan terjangkau masyarakat (education society). Dalam ruang pendidikan, kualitas dan kapasitas guru merupakan factor determinan dan penopang mutu dan kualitas ruang pendidikan di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar