Label

Selasa, 03 Januari 2012

Realitas Tuhan Dalam Filsafat


Seringkali kita tidak pernah menyadari bahwa agama yang kita anut, pada dasarnya adalah sebuah label yang telah dilekatkan kepada kita sejak kita lahir. (Gawan Ket Bayi).

Otomatis, kita beragama A atau B adalah karena pilihan orang tua atau mbah-mbah kita dan bukan pilihan kita sendiri. Mungkin hal itu adalah wajar, ketika kita masih bayi memutuskan suatu pilihan adalah hal yang sangat tidak mungkin.

Namun, saat kita telah beranjak gede di mana rasionalitas jauh memainkan peranan, masih pantaskah kita menerima label yang ada pada kita tanpa mempertanyakan secara lebih kritis mengapa kita memeluk agama A atau B? Akankah kita terlena dengan gemerlapnya masalah duniawi sehingga melupakan identitas yang paling hakiki? Atau bahkan akankah kita tenggelam dalam lautan fanatisme sementara melupakan apa yang seharus diamalkan oleh ajaran agama kita? Tentu tidak. Esensi dari agama adalah pengakuan terhadap eksistensi Tuhan.

Namun, yang perlu dicatatan adalah pengakuan terhadap eksistensi Tuhan tidak hanya dimonopoli oleh agama. Katanya sich filsafat diyakini oleh para pengagum rasionalitas sebagai jalan untuk memahami eksistensi Tuhan. Filsafat senantiasa menjaga jarak antara benteng agama dan ilmu pengetahuan. Filsafat memiliki dimensi ilmu pengetahuan karena metode ilmiahnya dalam melihat sebuah permasalahan sehingga berbeda dengan agama. Akan tetapi, filsafat memiliki dimensi spekulatif yang tak terjangkau nalar dalam melihat suatu permasalahan teologis sehingga jelas ia sedikit berbeda dari ilmu pengetahuan.

Bertrand Russel menyebut bahwa filsafat sebagai wilayah tak bertuan (No Man's Land). Sangat tidak adil bila membandingkan antara agama dan filsafat dalam memahami eksistensi ketuhanan. Konsep teologi dalam agama adalah sesuatu yang bersifat sakral dan tak bisa diubah, meskipun dalam konteks sejarahnya memiliki fakta-fakta di luar nalar dan logika. Dalam agama, pemahaman akan Tuhan tidak dimulai dari titik nol atau pertanyaan yang paling mendasar, seperti misalnya apakah Tuhan itu ada? Manusia kan hanya tinggal menjalankan aturan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.

Pada satu titik, justru manusia yang kurang menggunakan nalarnya jelas akan kehilangan daya kritisnya. Dalam filsafat, pemahaman mengenai Tuhan, kehidupan makrokosmis, dan mikrokosmis mengalami dialektikanya sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam sepanjang sejarah filsafat dari mulai zaman Democritus, Socrates, Plato, St. Augustine, Thomas Acquinas, John Locke, Descartes, David Hume, Kant, hingga Derrida.

Prinsip kausalitas (sebab-akibat) adalah batu pijakan bagi para filsuf yang menjadi amunisi untuk menyerang realitas ketuhanan yang diyakini oleh manusia. Prinsip kausalitas tentu saja memiliki keterbatasan, karena ia berada dalam koridor ruang dan waktu untuk memahami sesuatu yang berada di wilayah suprarealitas. Eksistensi Tuhan dalam filsafat bersifat fluktuatif. Pada era Democritus, dan filsuf-filsuf yang sezaman dengannya, pertanyaan besar diajukan pada asal-usul kehidupan. Air, Tanah, Udara, dan Api adalah elemen-elemen yang dianggap menjadi unsur pembentuk mahluk hidup.

Aristoteles menungkapkan bahwa segala proses yang terjadi di dunia tidak lain adalah karena adanya Tuhan. Realitas ketuhanan semakin mendapatkan tempat dalam pikiran manusia, ingat gak? ketika masa keemasan gereja mendominasi Eropa. Tokoh-tokohnya seperti St. Auguistine dan Thomas Aquinas berperan besar dalam melindungi Tuhan dari ekstrimitas filsafat pada masanya. Ketika optimisme akan superioras eksistensi manusia bangkit pada abad pencerahan, konsep-konsep teologis mulai tergerus. Karl Marx iku sedikit ngawur, dia nganggap bahwa agama merupakan candu bagi masyarakat. Ia melihat bahwa agama adalah saluran pelarian bagi kaum-kaum lemah yang tertindas dan tidak mampu untuk melakukan perlawanan. Kerangka pemikiran yang sama juga ditemukan pada Freud. Ia mengukuhkan bahwa pendapatnya tentang spiritualitas manusia yang dianggapnya sebagai salah satu ciri khas orang yang tidak pernah dewasa. Menurutnya, ketidakmampuan manusia dalam menghadapi bencana dan penyakit, menyebabkan manusia membutuhkan sosok zat yang lebih kuat daripada dirinya, persis seperti anak kecil yang memerlukan sosok bapak sebagai pelindungnya kan?.

Immanuel Kant menyelamatkan "eksistensi Tuhan" dengan memberikan pandangan bahwa sesungguhnya dunia berisi ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan, karenanya pasti ada zat yang sempurna yang menciptakan ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan itu. Filsafat memang memiliki dunianya sendiri yang mungkin dapat memicu kecaman, menimbulkan kontroversi, dan merupakan musuh agama. Menjangkau realitas ketuhanan melalui filsafat akan berakhir dengan berbagai pilihan, bisa menjadi atheis, bisa menjadi pluralis, atau bahkan menjadi fanatis.

Apapun hasil dari filsafat yang kita pelajari adalah sebuah kebijaksanaan sekaligus merupakan sebuah pilihan bagi kita. Sekarang jawabannya ada pada kita, apakah kita akan menerima sebuah realitas tanpa pertanyaan lebih lanjut, atau apakah kita justru mempertanyakan realitas namun siap untuk terjungkal dan jatuh untuk mendapatkan sebuah pencerahan?. Itu kembali kepada diri kita sendiri…

# Hasil diskusi BPH Rayon Tarbiyah dan Keguruan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar