Label

Jumat, 13 Januari 2012

Apa itu Politik?

Politik berasal dari bahasa Yunani Polis yang artinya kota atau negara, yang kemudian muncul kata-kata polities yang artinya warga negara dan kata politikos yang artinya kewarganegaraan. Politik adalah seni tentang kenegaraan yang dijabarkan dalam praktek di lapangan, sehingga dapat dijelaskan bagaimana Imbungan antar manusia (penduduk) yang tinggal di suatu tempat (wilayah) yang meskipun memiliki perbedaan pendapat dan kepentingannya, tetap mengakui adanya kepentingan bersama untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasionalnya. Penyelenggaraan kekuasaan negara dipercayakan kepada suatu badan/ lembaga yaitu pemerintah. 

Didalam hidup bernegara sudah lazimnya jika politik menjadi suatu pembicaraan yang hangat, kebanyakan masyarakat pada umumnya menilai perpolitikan itu kotor. Bahkan, masyarakat mengklaim setiap individu yang telah berbaju politik terkesan kotor, koruptor dan dianggap kaum munafik.

Pemikiran- pemikiran seperti ini telah tertanam pada setiap masyarakat baik berjenis pria atau wanita, anak-anak bahkan remaja-remaja. Faktor penyakit ini disebabkan kurangnya bimbingan ilmu politik terhadap masyarakat sekitar. 

Untuk mencegah penyakit yang berwabah ini diperlukan beberapa siraman kesejukan melalui ilmu tersebut, Ada beberapa definisi yang diberikan oleh para philosophy tentang ilmu politik, diantaranya:

1. Menurut Bluntschli, Garner dan Frank Goodnow menyatakan bahwa ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari lingkungan kenegaraan.

2. Sedangkan pendapat Seely dan Stephen leacock, ilmu politik merupakan ilmu yang serasi dalam menanggani pemerintahan.

3. Dilain pihak pemikir francis seperti Paul Janet menyikapi ilmu politik sebagai ilmu yang mengatur perkembangan Negara begitu juga prinsip- prinsip pemerintahan, Pendapat ini didukung juga oleh R.N. Gilchrist.

4. Disisi lain, Lasswell menyetujui ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari pengaruh dan kekuasaan.

Dari beberapa definisi diatas sudah jelas bahwa ilmu politik sangat diperlukan didalam satu Negara, Dimana perbedaan pendapat hampir terkesan sama. Tapi perlu diketahui pendapat yang paling utama merupakan paling luas dan tepat, yang mana dikatakan bahwa ilmu politik, ilmu yang mempelajari tentang Negara, Dimana berartikan luas dan mencakup secara keseluruhan.

Setiap ilmu pada dasarnya murni dan baik, itupun kalau sang pemakai cenderung lurus dan jujur. Ilmu politik yang telah berumur kira-kira 2500 tahun ini dibentuk oleh para ilmuwan philosophy jelas memiliki banyak manfaat.

Intisarinya Ilmu politik sangatlah berbeda dengan para pelakonnya, yang mana aktor politik berlakon layaknya musik berlaju, Mereka tidak mau tau apakah itu benar atau salah yang jelas dramanya selesai.

Sedangkan jika membaca dan meneliti theori, jangkauan dan tujuan ilmu politik sendiri sangatlah berbeda. Ilmu politik memberikan cara dalam bernegara dengan baik, Tapi sayangnya para executive membawanya kejalan yang berlumpur.

Tidaklah salah anggapan rakyat terhadap perpolitikan sekarang ini, yang mana terlihat jelas kotor, koruptor bahkan terkesan melenceng dari ajaran ilmu tersebut. Solusinya amatlah diperlukan gambaran pemimpin- pemimpin yang bijaksana, adil, jujur dan memiliki kecakapan yang luas.

Jika Negara telah memiliki kriteria pemimpin diatas maka Negara tersebut akan berkembang pesat, damai dan sejahtra, sedangkan kuncinya terdapat pada rakyat pula, siapa yang akan dipilih itulah tombaknya.

Perli diketahui, politik merupakan proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.

Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.

Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
1.      politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
2.      politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
3.      politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
4.      politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.

Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.

Rabu, 11 Januari 2012

Posisi Sekolah Dalam Menentukan Masa Depan

“Berhentilah Sekolah Sebelum Terlambat!”
Judul Opini Kompas, 8 April 2011.
Judul opini yang ditulis Yudhistira ANM Massardi ini mengundang untuk ditelusuri lebih lanjut. Secara kasat mata, judul ini menurunkan gairah para pencari ilmu. Bayangkan jika anak SD, SMP, dan SMA mengerti betul apa arti judul tulisan ini.  Sebuah kalimat perintah untuk berhenti bersekolah. Atau juga, sebuah ajakan. Kalau begitu, sia-sialah anak-anak mengenyam pendidikan di sekolah.

Yudhistira ANM Massardi menulis demikian, ”Jika orientasi pendidikan adalah untuk mencetak tenaga kerja guna kepentingan industri dan membentuk mentalitas pegawai—katakanlah hingga dua dekade ke depan—yang akan dihasilkan adalah jutaan calon penganggur.” Jika demikian, betapa malang nasib anak didik yang menjadi tenaga kerja industri dan tenaga kerja bermental pegawai. Mereka akan jadi penganggur.

Sastrawan dan Pengelola Sekolah Gratis untuk Dhuafa, TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi ini mempunyai data jumlah penganggur dan siswa putus sekolah. Sekitar 750.000 lulusan program diploma dan sarjana menganggur. Siswa putus sekolah dari tingkat SD hingga SLTA yang tercatat sejak 2002, berjumlah rata- rata lebih dari 1,5 juta siswa setiap tahun. Jika seperti ini yang terjadi, negeri ini sebenarnya dipenuhi penganggur. Siapkah para siswi/a dan mahasiswi/a menghadapi tantangan ini?

Saya tertarik melihat beberapa penjual makanan yang membagikan karya mereka saat acara “Malam Budaya” di kampus dua malam lalu. Dengan ramah mereka melayani kami. Mereka adalah “orang kecil” namun pekerjaan mereka berguna bagi “orang besar”. Mereka mungkin tidak sempat mengenyam pendidikan seperti kami, para mahasiswi/a yang setiap hari bergelut dengan ilmu. Namun, mereka bisa “mengisi perut” dari hasil jualan mereka. Dengan kata lain, mereka adalah orang sukses.

Fakta sekarang memang berubah dari anggapan sebelumnya bahwa “bersekolah dulu supaya mendapat pekerjaan yang bagus”.  Ada orang sukses yang tidak melalui pendidikan di sekolah formal. Sebaliknya, ada penganggur yang lulusan diploma atau sarjana. Kalau demikian “Untuk apa kita sekolah?”

Sebuah “survei” di situs yahoo menguraiakan pertanyaan “Untuk apa kita pergi ke sekolah setiap hari walau sekolah tidak menjamin hidup baik?” Salah satu jawaban pembaca situs ini demikian “Sekolah bukan untuk menjamin hidup baik, tetapi dengan bersekolah kita bisa berpola pikir lebih dewasa dan berperilaku yg baik. Selain itu kita juga belajar untuk bergaul, bersosialisasi, semakin banyak teman, semakin besar peluang untuk hidup lebih baik karena dengan berteman dan bersosialisasi bisa mendatangkan kesempatan pekerjaan....”
               

Jawaban di atas bisa menjadi pijakan bagi kaum didik. Sekolah bukan menjamin hidup baik. Fakta di atas tadi bahwa ada diploma dan sarjana yang menganggur. Meskipun ada juga yang mendapat pekerjaan yang layak. Sekolah memang bagai dua sisi mata uang ketika dikaitkan dengan peluang hidup baik. Dengan bersekolah, peluang masa depan lebih baik terjamin sekaligus tidak terjamin.
               
Namun, sekolah menjadi “tempat didik” untuk berpola pikir lebih dewasa dan berperilaku baik. Di sekolah, dua sikap ini ditempa habis-habisan. Beruntunglah mereka yang betul-betul memanfaatkan kesempatan ini. Selain itu, sekolah juga menjadi “tempat didik” bersosialisasi, bergaul dengan banyak teman yang multikarakter.

Trilogi bermasyarakat
“Pola pikir”, “Pola laku”, dan ”Pola gaul” menjadi tiga hal penting dalam kehidupan bermasyarakat. Orang yang pola pikirnya bagus akan dihormati. Orang yang pola lakunya bagus akan dihargai. Dan, orang yang pola gaulnya bagus akan disenangi. Ketiganya menjamin seseorang mendapat banyak teman. Banyak teman/sahabat/kenalan menjamin banyak peluang untuk mendapat pekerjaan. 
Anggapan “orientasi pendidikan adalah untuk mencetak tenaga kerja guna kepentingan industri dan membentuk mentalitas pegawai” kiranya kurang bagus. Pendidikan (sekolah) hanyalah “tempat didik” dan bukan berorientasi mencetak tenaga kerja. Persoalan akan menjadi tenaga kerja atau tidak di kemudian hari bukanlah tugas sekolah.
               
Sekolah mempunyai efek tidak langsung dalam membentuk kepribadian tenaga kerja. Jika tiga aspek di atas melekat dalam diri seorang anak didik maka dia akan menjadi tenaga kerja berkualitas. Jika tidak menjadi tenaga kerja, dia tetaplah seorang manusia yang berkualitas di tengah masyarakat.
               
Yudhistira ANM Massardi di akhir tulisannya menyebut dua kata kunci “kreativitas” dan “imajinasi”. Orang yang kreatif amat dibutuhkan dalam menghadapi berbagai persoalan. Kreatif menyelesaikan sebuah tugas berarti menjadikan tugas tersebut sebagai sesuatu yang berguna, baru, dan dapat dimengerti. Sebab, “Kreativitas adalah kegiatan yang mendatangkan hasil yang sifatnya baru, inovatif, belum ada sebelumnya, segar, menarik, aneh, mengejutkan, berguna (useful), lebih enak, lebih praktis, mempermudah, memperlancar,……” (A.M. Mangunhardjana, 1992, Mengembangkan Kreativitas, hlm. 11).  

Pribadi imajinatif mempunyai orientasi dalam bekerja. Pekerjaan tidak hanya dinilai “sekarang” tetapi juga dampaknya bagi “masa mendatang”. Benar apa yang dikatakan Yudhistira ANM Massardi bahwa dua hal ini belum akan tergantikan oleh komputer secerdas apa pun.

Akhirnya kita sekolah bukan melulu menjadi tenaga kerja guna kepentingan industri dan bermentalitas pegawai. Kita sekolah untuk hidup dan bukan hidup untuk sekolah. Sekolah untuk hidup berarti kita sekolah untuk mengerti hidup ini. Hidup untuk sekolah berarti seluruh hidup kita dihabiskan untuk sekolah. Kalau seperti ini, kapan kerjanya?? Non Scholae Sed Vitae Discimus. Pepatah Latin yang artinya kita belajar untuk hidup dan bukan demi sekolah, bukan demi kepentingan industri, dan tenaga kerja bermental pegawai.  

Minggu, 08 Januari 2012

Wajah Murung Pendidikan Indonesia


Oleh: Dimas Aries Fahruddin As’ad

Dalam sejarah pendidikan di Indonesia selalu diwarnai dengan ketidakteraturan, Interest, dan pola penindasan. Keterputusan sejarah pendidikan (diskontiunitas educatioan history) kita telah membombardir makna dan orientasi pendidikan, tujuan awal pendikan sebagai symbol memanusiakan manusia (humanity oriented) dan pembebasan dari jaring-jaring kekuasaan telah dicemari oleh bentuk ketidak teraturan kebijakan, interest, dan penindasan.
Al-hasil pendidikan kita di ujung tonggak disposisi dan disorientasi. parahnya tatkala negeri ini dalam pasungan rezim dictator orde baru, pendidikan kita mengalami kondisi stagnant dan menuai kejumudan tingkat tinggi. Berulang kali pendidikan kita telah menjadi permainan kepentingan (game of interest) yang diaktori oleh kebengisan negara, maupun Intitusi pendidikan itu sendiri.

Ruang pendidikan hanya mampu bertahan dan berhenti dalam lingkar kekuasaan, dan kepentingan (interest).. Ruang pendidikan justru mengalami tarik ulur antara misi pendidikan dan kepentingan yang sifatnya sejenak. Oleh sebab itu, sifat ambigu makna dan orientasi pendidikan akan syarat dengan penindasan dan memposisikan pendidikan sebagai sub-koordinat. Padahal Salah satu penopang atau instrument kemajuan bangsa adalah kapasitas pendidikan, tatkala pendidikan benar-benar berperan aktif dalam nilai-nilai kemanusiaan (humanis). Selan itu, pendidikan juga menuai misi pembebasan yang besar.

Ketumpulan dan kejumudan pendidikan kita bukanlah persoalan biasa, akan tetapi ini adalah masalah besar dan butuh penyelesaian intensif dan persuasif. Problem pendidikan kita tidak bisa di lihat sebelah mata, yaitu kesalahan negara semata. Memang, persoalan pendidikan merupakan problem structural yang langsung di koordinasi dan dikontrol oleh pemerintah. Akan tetapi asumsi demikian tidak dapat dijadikan alasan menyalahkan pemerintah.
Pasalnya. Kurikulkum dan mekanisme pembelajaran selama ini digarap dan di proyeksikan langsung oleh pemerintah pusat, dalam konteks ini adalah menteri pendidikan. Namun dalam praktik dan operasional konsep pemerintah tersebut seorang pengelola institusi pendidikan dan staf pengajar yang mempunyai peran signifikan.
“Pengajar” menurut Paulo Freire adalah sebagai partner berfikir kritis dan mempunyai kesanggupan berdialog dengan peserta didik dalam suatu pola timbal balik (mutualis). Oleh karena itu, metode pembelajaran seharusnya tidak menciptakan ektrim pengajar dan peserta didik. Justru sebaliknya, pengajar dan pendidik adalah kesatuan entitas bersejajar dan sifatnya partner yang menekankan berfikir kritis transitif.

Guru (Teacher) memiliki kekuatan signifikan dan menjadi salah satu factor determinan dalam ruang pendidikan. Dan secara structural, pengelola intitusi pendidikan adalah yang bertanggung jawab mengenai segala hal yang berkaitan dengan kesejahteraan guru. Pertanyaan selanjutnya adalah, sudahkan guru sebagai orang yang membebaskan dan mencerdaskan, atau malah kejumudan dan stagnasi ini akibat dari otoriterisme seorang pengajar dan kengawuran pengelola intitusi pendidikan?

Memang tatkala dilacak dari prekspektif makro stuktural, Pendidikan selalu tidak dapat lepas dari intervensi negara, dalam kesempatan itu pula ruang pendidikan telah di acak-acak kecepatan frekwensi kebijkan yang tumpang tindih dan tidak populis. Sementara itu di tingkat mikro structural, pendidikan tidak terlepas dari peran dan pengaruh pengajar atau seorang guru dengan pengelola sekolah (Intitusi Pendidikan).

Mengajar bukan hanya sekedar memindahkan (tranformasi) pengetahuan dari pengajar ke peserta didik. Dalam praktiknya, wajah pendidikan kita masih menampakkkan gaya pengajaran yang menggunakan metode bangking (Method of Education Banking). Guru dalam kerangka metode ini menjadikan peserta didik atau murid sebagai fragmentasi dan menjadi obyek. Sehingga mekanisme dan pola pengajaran yang demikian melahirkan polarisasi Humanis yang dehumanisasi. Walaupun pemerintah telah memberlakukan metode kurikulum berbasis kompetensi –KBK, toh kebijakan tersebut belum secara massif berlaku di seluruh sekolah-sekolah di pelosok negeri ini. Artinya, kebijakan demikian masih belum memenuhi standar counter problem ektrim pengajar (subyek) dan peserta didik (obyek). Kebijakan tersebut hanya digunakan legitimasi kepentingan dan dipahami secara parsial, yang menjembatani bayang-bayang kapitalisasi, privatisasi dan komersialisasi dalam ruang pendidikan.

Sikap determinan guru tersebut yang memacu perkembangan dan kemajuan pendidikan, baik ketika ditinjau dari aspek Mutual-Kualitas maupuan Kuatitas-nya. Sebab, parameter kualitas dan mutu pendidikan secara Makro-Stuktural terletak di tangan pemerintah berikut kebijakannya. Sedangkan dalam pandangan Mikro-Struktural ada di tangan pengelola sekolah dan pengajar-pengajar kita.

Jadi, tingkat kapasitas guru dalam kerangka structural tersebut sangat besar pengaruhnya dalam ruang pendidikan. Bagaimana tidak, ketika tingkat kapasitas guru dapat mendeterminasi peserta didik. Ketika terjadi kesalahan pada guru, maka yang menjadi korbannya adalah peserta didik atau generasi penerus bangsa. Kendati demikian, ruang pendidikan telah mengalami kemurungan, kelesuan dan impotensi.

Pendidikan sudah tidak lagi di pandang sebagai suatu pembebasan dari ligkar penindasan, pembodohan maupun ekploitasi. Pendidikan hanya dipandang sebagai pragmatisme dalam ruang social. Pendidikan tidak lagi menjadi sebuah symbol resistensi dan pembebasan dari penindas, akan tetapi digunakan sebagai upaya mencari status dan legitimasi sosial masyarakat.

Sebagi Entry Point pembahasan, dengan spirit hari pendidikan nasional (Hardiknas) seyogyanya pemerintah men-formulasi-kan pendidikan pembebasan. Mekanisme dan kurikulum diformat sesuai dengan kebutuhan dan social kultur di Indonesia. Pendidikan tidak lagi dipandang sebagai barang langit, sulit di dapatkan dan sifatnya utopis. Sebaliknya, langkah alternatif adalah menciptakan pendidikan pembebasan (liberation education) dari penindas, kekuasaan dan dengan biaya yang relatif murah dan terjangkau masyarakat (education society). Dalam ruang pendidikan, kualitas dan kapasitas guru merupakan factor determinan dan penopang mutu dan kualitas ruang pendidikan di negeri ini.

Kamis, 05 Januari 2012

Memperteguh Idealisme Kebangsaan Menuju Indonesia Merdeka Seutuhnya

Oleh: Achmad Junaidi*

Altusher dalam pandangan kenegaraannya berpendapat bahwa bangsa yang merdeka adalah bengsa yang memiliki pandangan bersama, yaitu sebuah cita-cita luhur yang didalamnya tertampung seluruh aspirasi dan kebutuhan warganya (ideology) serta memiliki system aparatur negara yang kuat secara mandiri tanpa adanya intervensi negara lain untuk mengatur dan menjalankan roda pemerintahan demi tercapainya tujuan tersebut (apartus state).
Kiranya teori diatas sangat tepat untuk mengenang sekaligus bahan evaluasi 61 tahun kelahiran bangsa Indonesia, terkait dengan munculnya beberapa asumsi akan mulai rapuhnya bangunan ideology negara dan kebangsaan (nation and state building). Hal ini diperkuat dengan fakta lapangan yang menunjukkan perselisihan fahan yang didasari oleh perbedaan kepentingan, pertikaian antar suku dan etnis yang kembali marak hingga beberapa daerah yang ingin melepaskan diri dari negara kesatuan republik Indonesia, setidaknya hal ini menjadi bahan kajian penting bahwasanya disintegrasi bangsa telah mengancam negeri ini.
Pertanyaan apakah hari ini Indonesia sudah merdeka secara dejure memang demikian adanya, karena sudah memproklamasikan diri terbebas dari kekangan bangsa lain, akan tetapi secara defakto untuk mengatakannya mungkin ini harus di kaji ulang karena masih banyak lagi persyaratan yang harus dilalui oleh negeri ini untuk menjadi bangsa yang merdeka secara utuh.
Jenderal TNI Ryamizard Ryachudu mengatakan ada beberapa potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dan melimpah ruah. Mulai dari luas negara yang nomor 15 didunia, berpenduduk terbanyak keempat dan berpenghasilan biji-bijian ke-6 di dunia, dari unsur teh terbesar ke-6, penghasil kopi terbesar ke-4, minyak sawit terbesar ke-2, lada putih peringkat pertama, lada hitam peringkat kedua, karet alam pringkat ke-2, karet sintetik peringkat ke-4, kayu lapis nomor 1, penghasil ikan terbesar ke-6 didunia, batu bara peringkat ke-9, tembaga peringkat ke-3, minyak bumi nomor 11, natural gas nomor 6, LNG nomor 1, emas nomor 8 didunia, belum lagi aspal, bauksit, nikel, granit, perak, uranium, marmer, mineral dan sebagainya semuanya ada di Indonesia (baca: AULA Juli 2006).
Begitu besar potensi kekayaan alam Indonesia untuk dapat dijadikan modal memajukan bangsa ini hingga dapat bersaing dengan negara-negara lain yang pada dasarnya jika diukur dari segi finansial dan modal sumberdaya alam jauh dibawah kita, seperti Malaysia dan Singapura misalnya yang sekarang perkembangannya jauh lebih pesat diatas Indonesia.
Akhirnya ada pertanyaan besar yang harus dijawab oleh para pelaku dan seluruh penduduk negeri ini. Apa yang salah dari negeri kita tercinta ini?
Sebagai negara yang kaya akan potensi sumberdaya alam ada dua kemungkinan besar kelangsungannya untuk bisa berkembang atau terjerembab pada arus penjajahan gaya baru (neo imperealisme). Pertama bangsa yang kaya akan sumberdaya alam akan menjadi incaran negera-negara imperealis, dengan dalih menanam infestasi mereka akan mengeksploitasinya dan kedua mereka sadar dan mengembangkan diri untuk mampu mengelola sumberdaya tersebut hingga mampu mengembangkan diri (baca Johan Galtung: the new Imprealisme1999).
Untuk mengetahui Indonesia ada diposisi mana mungkin kasus lelang antara pertamina dan exol mobile sebagai penentu siapa yang berhak mengelola blok cepu (tanpa memperhatikan factor profid dan non profid) kiranya cukup menjadi jawaban bahwa kita tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan sumberdaya alam yang kita miliki, melihat masih banyak kasus lain tentang perusahaan-perusahaan luar negeri yang mengelola SDA kita, friport, indosat dan perkebunan sawit di Sumatra yang mejadi milik Malaysia serta lain sebagainya.
Membangun Kembali Cita-Cita Bersama
Belajar dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia factor utama kegagalannya adalah perjuangan yang dilakukan secara parsial dan lebih mementingkan kepentingan kedaerahan, kelompok dan terpecah belah. Namun semua itu dapat disatukan oleh sebuah keinginan bersama yang mampu menyatukan berbagai kepentingan tersebut.
Karena kalau di analisa lebih mendalam hal ini pula yang menyebabkan kondisi bangsa ini tidak bisa keluar dari belitan krisis multidimensi yang makin memperihatinkan, beberapa badan representasi masyarakat baik legislative ataupun eksekutif masih berjibaku berjuang untuk kepentingan kelompok dan golongannya masing-masing (lihat beberapa kelahiran UU baru yang di rasa oleh beberapa pihak bersifat individualistik dan sarat dengan kepentingan)
Maka dari itu butuh energi kusus untuk membangun sebuah kebersamaan, sebuah cita-cita yang dapat menghapus batas kepentingan. lantas kolektivitas dan kohesifitas inilah yang kiranya akan mampu melahirkan sebuah komitmen kebangsaan, komitmen untuk bersama memajukan Indonesia untuk meraih serta mengisi Indonesia merdeka yang seutuhnya.

* Mantan ketua umum PMII Tarbiyah Kombes Sunan Ampel Cabang Surabaya

Selasa, 03 Januari 2012

Realitas Tuhan Dalam Filsafat


Seringkali kita tidak pernah menyadari bahwa agama yang kita anut, pada dasarnya adalah sebuah label yang telah dilekatkan kepada kita sejak kita lahir. (Gawan Ket Bayi).

Otomatis, kita beragama A atau B adalah karena pilihan orang tua atau mbah-mbah kita dan bukan pilihan kita sendiri. Mungkin hal itu adalah wajar, ketika kita masih bayi memutuskan suatu pilihan adalah hal yang sangat tidak mungkin.

Namun, saat kita telah beranjak gede di mana rasionalitas jauh memainkan peranan, masih pantaskah kita menerima label yang ada pada kita tanpa mempertanyakan secara lebih kritis mengapa kita memeluk agama A atau B? Akankah kita terlena dengan gemerlapnya masalah duniawi sehingga melupakan identitas yang paling hakiki? Atau bahkan akankah kita tenggelam dalam lautan fanatisme sementara melupakan apa yang seharus diamalkan oleh ajaran agama kita? Tentu tidak. Esensi dari agama adalah pengakuan terhadap eksistensi Tuhan.

Namun, yang perlu dicatatan adalah pengakuan terhadap eksistensi Tuhan tidak hanya dimonopoli oleh agama. Katanya sich filsafat diyakini oleh para pengagum rasionalitas sebagai jalan untuk memahami eksistensi Tuhan. Filsafat senantiasa menjaga jarak antara benteng agama dan ilmu pengetahuan. Filsafat memiliki dimensi ilmu pengetahuan karena metode ilmiahnya dalam melihat sebuah permasalahan sehingga berbeda dengan agama. Akan tetapi, filsafat memiliki dimensi spekulatif yang tak terjangkau nalar dalam melihat suatu permasalahan teologis sehingga jelas ia sedikit berbeda dari ilmu pengetahuan.

Bertrand Russel menyebut bahwa filsafat sebagai wilayah tak bertuan (No Man's Land). Sangat tidak adil bila membandingkan antara agama dan filsafat dalam memahami eksistensi ketuhanan. Konsep teologi dalam agama adalah sesuatu yang bersifat sakral dan tak bisa diubah, meskipun dalam konteks sejarahnya memiliki fakta-fakta di luar nalar dan logika. Dalam agama, pemahaman akan Tuhan tidak dimulai dari titik nol atau pertanyaan yang paling mendasar, seperti misalnya apakah Tuhan itu ada? Manusia kan hanya tinggal menjalankan aturan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.

Pada satu titik, justru manusia yang kurang menggunakan nalarnya jelas akan kehilangan daya kritisnya. Dalam filsafat, pemahaman mengenai Tuhan, kehidupan makrokosmis, dan mikrokosmis mengalami dialektikanya sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam sepanjang sejarah filsafat dari mulai zaman Democritus, Socrates, Plato, St. Augustine, Thomas Acquinas, John Locke, Descartes, David Hume, Kant, hingga Derrida.

Prinsip kausalitas (sebab-akibat) adalah batu pijakan bagi para filsuf yang menjadi amunisi untuk menyerang realitas ketuhanan yang diyakini oleh manusia. Prinsip kausalitas tentu saja memiliki keterbatasan, karena ia berada dalam koridor ruang dan waktu untuk memahami sesuatu yang berada di wilayah suprarealitas. Eksistensi Tuhan dalam filsafat bersifat fluktuatif. Pada era Democritus, dan filsuf-filsuf yang sezaman dengannya, pertanyaan besar diajukan pada asal-usul kehidupan. Air, Tanah, Udara, dan Api adalah elemen-elemen yang dianggap menjadi unsur pembentuk mahluk hidup.

Aristoteles menungkapkan bahwa segala proses yang terjadi di dunia tidak lain adalah karena adanya Tuhan. Realitas ketuhanan semakin mendapatkan tempat dalam pikiran manusia, ingat gak? ketika masa keemasan gereja mendominasi Eropa. Tokoh-tokohnya seperti St. Auguistine dan Thomas Aquinas berperan besar dalam melindungi Tuhan dari ekstrimitas filsafat pada masanya. Ketika optimisme akan superioras eksistensi manusia bangkit pada abad pencerahan, konsep-konsep teologis mulai tergerus. Karl Marx iku sedikit ngawur, dia nganggap bahwa agama merupakan candu bagi masyarakat. Ia melihat bahwa agama adalah saluran pelarian bagi kaum-kaum lemah yang tertindas dan tidak mampu untuk melakukan perlawanan. Kerangka pemikiran yang sama juga ditemukan pada Freud. Ia mengukuhkan bahwa pendapatnya tentang spiritualitas manusia yang dianggapnya sebagai salah satu ciri khas orang yang tidak pernah dewasa. Menurutnya, ketidakmampuan manusia dalam menghadapi bencana dan penyakit, menyebabkan manusia membutuhkan sosok zat yang lebih kuat daripada dirinya, persis seperti anak kecil yang memerlukan sosok bapak sebagai pelindungnya kan?.

Immanuel Kant menyelamatkan "eksistensi Tuhan" dengan memberikan pandangan bahwa sesungguhnya dunia berisi ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan, karenanya pasti ada zat yang sempurna yang menciptakan ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan itu. Filsafat memang memiliki dunianya sendiri yang mungkin dapat memicu kecaman, menimbulkan kontroversi, dan merupakan musuh agama. Menjangkau realitas ketuhanan melalui filsafat akan berakhir dengan berbagai pilihan, bisa menjadi atheis, bisa menjadi pluralis, atau bahkan menjadi fanatis.

Apapun hasil dari filsafat yang kita pelajari adalah sebuah kebijaksanaan sekaligus merupakan sebuah pilihan bagi kita. Sekarang jawabannya ada pada kita, apakah kita akan menerima sebuah realitas tanpa pertanyaan lebih lanjut, atau apakah kita justru mempertanyakan realitas namun siap untuk terjungkal dan jatuh untuk mendapatkan sebuah pencerahan?. Itu kembali kepada diri kita sendiri…

# Hasil diskusi BPH Rayon Tarbiyah dan Keguruan

Senin, 02 Januari 2012

Omong-omong Tentang Filsafat

Ternyata kata “filsafat” masih asing bagi orang tertentu. Beberapa teman bahkan berkomentar, baru dengar nama itu. Entah karena kurang baca, kurang dengar, kurang simak berita, atau alasan apa sampai muncul reaksi itu.

Bisa jadi mungkin karena “filsafat” itu kurang disosialisasikan (dimasyarakatkan) sehingga kurang familiar. Namun, beberapa teman juga mengatakan (orang-orang) filsafat itu terlalu mengawang-awang (abstrak). Ini mungkin karena (ilmu) filsafat itu tinggal dalam menara gading, yang mengerti hanya yang belajar filsafat itu sendiri. *Gambar google images

Mendefinisikan “filsafat” itu memang agak rumit. Ketika defiinisi dibuat selalu saja ada yang kurang. Lantas ada komentar, apakah filsafat itu sebatas itu? Dosen saya bahkan pernah membuat mahasiswa/i-nya kaget. Dia memberikan beberapa definisi filsafat dari beberapa filsuf. Anehnya, terakhir dia mengatakan, filsafat itu tak terdefinisikan.

Maksudnya, “filsafat” itu tak bisa dibatasi dalam definisi itu. Masih ada celah yang bisa ditanyakan dari definisi yang ada. Dari uraian sebelumnya saja, ada pertentangan antara para filsuf. Tak jarang pula muncul definisi, filsafat itu merupakan ilmu yang diawali dan diakhiri dengan pertanyaan. Bisa membingungkan bukan?

Saya mencoba memaparkan sebagian kecil dari definisi filsafat. Definisi yang diambil dari beberapa ahli ini tentu saja masih menyisakan pertanyaan. Bagaimana pun definisi sebuah kata, kadang-kadang tidak memenuhi kandungan maksud kata itu. Itulah filsafat. Yang jelas ada guyonan, STF (Sekolah Tinggi Filsafat) itu adalah Sekolah Tanpa Faedah.

Nama ”filsafat” dan ”filsuf” berasal dari kata-kata Yunani philosophia dan philosophos. Berdasarkan bentuk kata, seorang philo-sophos adalah seorang ”pencinta kebijaksanaan”. Ada tradisi kuno yang mengatakan bahwa nama ”filsuf” (philosophos) untuk pertama kalinya dalam sejarah dipergunakan oleh Pythagoras (abad ke-6 SM). Tetapi kesaksian sejarah tentang kehidupan dan aktivitas Pythagoras demikian tercampur dengan legenda-legenda sehingga seringkali kebenaran tidak dapat dibedakan dari reka-rekaan saja. Demikian juga dengan hikayat yang mengisahkan bahwa nama ”Filsuf” ditemukan oleh Pythagoras (Bertens,  Sejarah Filsafat Yunani, 1999:17-18).

Arti philo-sophos yang adalah pencinta kebijaksanaan ini agak lain dari pengertian filsafat atau falsafah menurut kamus ilmiah populer. Dalam kamus ini, filsafat atau falsafah mempunyai pengertian yakni pengetahuan tentang, asas-asas pikiran dan perilaku; ilmu mencari kebenaran dan prinsip-prinsip dengan menggunakan kekuatan akal; pandangan hidup (yang dimiliki oleh setiap orang); ajaran hukum dan prilaku; kata-kata arif yang bersifat didaktis (lih. Widodo (ed), Kamus Ilmiah Populer, 2002:147).

Lain lagi pengertian filsafat menurut kamus umum bahasa indonesia. “Filsafat atau falsafat atau falsafah berarti pengetahuan dan penyelidikan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya daripada segala yang ada dalam alam semesta atau pun mengenai kebenaran dan arti ’adanya’ sesuatu.”( Poerwodarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1987:280).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah pencinta kebijaksanaan, kebijaksanaan akan pengetahuan; asas-asas pikiran dan perilaku; asas-asas hukum; dan pandangan hidup dengan menggunakan kekuatan akal budi (bdk. Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, 1991:18).